Dalam setiap perjalanan sebuah komunitas atau yang melibatkan banyak individu dalam satu wadah selalu saja ada kendala dan tantangannya sendiri. Seperti pepatah tak ada gading yang tak retak tampaknya dapat ditemukan bahkan relevan dalam konteks di dalam perkumpulan manusia. Komunitas yang melibatkan banyak individu dengan gagasan, ide, dan ekspektasi yang ada dalam pikiran masing-masing individu membuat perbedaan pendapat, penerjemahan, dan penerapannya dikarenakan interpretasi. Interpretasi ini juga dipengaruhi oleh pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki. Beragamnya gagasan, ide, dan ekspektasi dalam sebuah kelompok merupakan hal yang wajar. Namun, akan menjadi tantangan dan kendala ketika tidak terjadi proses refleksi kritis untuk mempertanyakan tindakan yang dilakukan apakah tepat atau sesuai dengan nilai dari kelompok tersebut atau tidak. Sebab sebagai bagian dari kelompok setiap individu memiliki andil menjadi wajah kelompok tersebut. Hal ini dikarenakan individu yang menjadi anggota suatu kelompok melakukan kekeliruan sedikit banyak maka kelompoknya akan terkena dampaknya juga.
Dalam sekolah seperti SALAM dengan pembelajaran kontekstual terdapat beberapa hal yang di interpretasikan atau di siasati seolah sejalan dengan pembelajaran yang diterapkan di SALAM sendiri. Setelah beberapa waktu melihat proses langsung di dalam kelas capaian yang seharusnya hanya ada di dalam kepala fasilitator justru menjadi sebuah tali yang mengekang atas kebebasan anak. Mungkin perlu di telisik dan dipertanyakan kembali dalam perjalanan riset anak apakah itu murni atas keinginan orang tua atau atas arahan fasilitator. Terlebih fasilitator membuat pengarahan yang mendorong anak-anak melihat itu sebuah kebutuhan bagi dirinya dan mempengaruhi anak lain agar mau mengamini bahwa itu kebutuhan mereka.
Hal lain yang saya amati ketika orang tua dan fasilitator bekolaborasi untuk menyatukan keinginan dan menjadikan anak sebagai objek yang menerima. Anak seharusnya yang menjadi subjek yang dapat menentukan dan mengembangkan arah dirinya perlahan terdegradasi oleh keinginan dan kemauan fasilitator dan orang tua. Dalam hal ini juga saya melihat riset anak kurang berkembang dalam proses pendampingan didalam kelas.
Kecakapan fasilitator dalam memfasilitasi anak seperti memberikan sumber belajar bagi pengembangan riset anak sangat diperlukan sehingga anak dapat berkembang dan mengembangkan riset. Dalam riset yang sesuai dengan minat dan berkembang menjadikan anak semangat dan semakin tertarik dengan riset yang dilakukan. Dari riset itu akhirnya dapat melihat capaian yang dicapai oleh anak, bukan sebaliknya mengarahkan riset anak untuk dapat memenuhi capaian. Dalam titik ini saya mengamati ada dua hal yang berbeda antara “riset yang memenuhi capaian” dan “capaian yang memenuhi riset”. Riset yang memenuhi capaian yakni riset yang dilakukan oleh anak dari mulai perencanaan, proses hingga hasil di ambil atau dipanen nilai-nilai yang terkandung dalam riset tersebut. Lalu dimasukan ke capaian-capaian. Dalam hal ini, berdasarkan pengalaman banyak teman-teman relawan mengungkapkan meski beberapa capaian baku tidak tercapai justru banyak sekali capaian yang dicapai diluar dari capaian baku yang diberikan kepada fasilitator. Capaian tersebut antara lain seperti perkembangan emosi, sikap, dan keterampilan. Disisi lain, capaian yang memenuhi riset yakni riset yang dilakukan oleh anak mulai dari tahap perencanaan, proses, hingga hasil diarahkan agar dapat memenuhi capaian. Meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan saya menemukan hal ini dalam beberapa kesempatan yakni mengarahkan riset agar dapat memenuhi capaian melalui serangkaian proses sehingga penarikan hasil riset tersebut terlihat seperti apa adanya.
Perbedaan latar belakang pendidikan dan cara memfasilitasi memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kelebihan yang dimiliki yakni dapat melahirkan multi perspektif dalam melihat suatu peristiwa atau fenomena yang dapat diolah sebagai bahan belajar. Namun, disisi lain kekurangannya juga perlu diperhatikan dan dikelola dengan baik. Perbedaan latar belakang dan cara memfasilitasi sepertinya perlu untuk didiskusikan dalam ruang diskusi kembali sehingga tidak keluar dari nilai yang diusung di SALAM sendiri. Sehingga dalam proses pembelajaran di SALAMmemiliki nilai yang sama, yang sesuai dengan nilai yang ada di SALAM sesuai dengan jenjangnya. Salah satu nilai yang saya dapatkan dari hasil proses wawancara dengan Bu Wahya, Pak Gemak, dan Mas Yudist yakni bagaimana riset yang dilakukan anak diolah dengan daur belajar oleh fasilitator dan anak difokuskan pada riset dan pengembangannya. Sehingga capaian bukan merupakan suatu hal yang dipaksakan untuk dicapai oleh anak.
Dalam hal lain saya mendapatkan pengetahuan dalam talkshow yang diberikan oleh Pak Toto pada saat Bulan Presentasi bahwa SALAM tidak mementingkan ujian dan penilaian sumatif. Pengetahuan tersebut semakin meyakinkan saya bahwa terdapat pergeseran dalam interpretasi nilai dalam pikiran dan tindakan. Dari sini saya melihat ketidaksesuaian dalam proses belajar dikelas dengan nilai yang disampaikan Pak Toto tersebut. Di dalam kelas saya menemukan pengorganisasian anak oleh orang tua dan fasilitator untuk melihat capaian yang jauh di tahun berikutnya seperti ujian. Meskipun dengan alasan baik seperti agar anak tidak di diberikan pelajaran yang banyak dalam waktu singkat pada saat sebelum ujian. Sehingga dilaksanakan pembelajaran dengan pelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran dalam ujian tersebut seperti matematika.
Pada akhir semester, terdapat kegiatan yang tidak kalah penting dalam proses pembelajaran yakni laporan atau rapor. Dalam rapor berisi berbagai perkembangan anak selama satu semester pembelajaran. Menurut saya mentoring sebuah hal yang penting tapi mentoring secara spesifik adalah hal yang sangat penting. Dengan pembagian mentor secara spesifik fasilitator akan dapat lebih mudah dalam mengelola energi untuk anak yang dimentori dengan anak-anak lain. contoh fenomena dalam hal ini yakni fasilitator dapat memberikan waktu luangnya untuk menemani anak untuk mencari sumber-sumber belajar untuk pengembangan risetnya. Sedangkan ketika tidak ada pembagian mentor secara spesifik anak terlihat kurang mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi sumber belajar oleh mentor. Meskipun mentoring bersama tanpa pembagian secara spesifik dapat memberikan keleluasaan ruang bagi anak untuk menceritakan temuannya kepada siapapun tapi tanpa pengorganisasian yang baik temuan itu hanya menjadi data yang berantakan bahkan mungkin menguap karena kesibukan atau pekerjaan lain fasilitator.
Akhir kata, mungkin SALAM memang masih menjadi sebuah sekolah yang spesial bagi saya pribadi. Namun, jika terlalu merasa baik-baik saja atau jarang melakukan refleksi dan mempertanyakan kembali atas tindakan yang dilakukan selama ini mungkin akan terhanyut semakin jauh dari nilai-nilai dan ide yang ada. Tulisan ini didasarkan oleh observasi dan berpartisipasi langsung dalam rangkaian pembelajaran. Tulisan ini juga mungkin dapat dikritisi lagi menurut perspektif teman-teman semua. Melalui tulisan ini juga saya harap terdapat hal yang dapat memantik teman-teman untuk mempertanyakan kembali proses yang telah dijalani selama ini. []
Sandhi, mahasiswa UNIBRA Malang, telah menyelesaikan magang 1 smester di SALAM
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply