Blog

SKETSA POLITIS PENDIDIKAN KRITIS (3)

Korban Struktural

Problem empiris di lapangan, terutama sekolah, sukar bergerak sesuai idealisme sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Ia terikat ikatan struktural vertikal yang membuatnya patuh sebagai objek kurikulum nasional. Pretensi ini bukan menganggap buruk kurikulum yang dikonstruksi pemerintah pusat, melainkan diperlukan autokritik terhadap kurikulum itu sendiri yang jelas mensekunderkan bakat peserta didik.

 

Sekolah hari ini, bahkan sejak empat dekade lampau, tak memanifestasikan secara serius filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Menteri pendidikan pertama di Indonesia itu hanya dianggap sebagai simbol mati yang sering dipampangkan secara visual-verbal: patung, jargon, dan papan sekolah. Lebih-lebih Tut Wuri Handayani sekadar disakralkan di papan kertas dan diujarkan secara hiperbolis dalam kesempatan pidato.

Bejibun pelajaran yang dipaketkan sekolah kepada siswa mengaburkan sasaran utama pendidikan dalam rangka eksplorasi bakat. Potret ini bisa ditilik dari komposisi pelajaran dari SD hingga SMA. Alih-alih memberi kebebasan meneroka bakat peserta didik, sekolah justru arogan dengan sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan dan wajib tempuh. Tak ada celah membina diri mencari apa dan bagaimana bakat itu dimiliki. Sebuah lanskap pendidikan artifisial yang terus mengakar.

Manusia dan Lingkungan

Kesadaran relasi antara manusia dan lingkungan selama ini acap kali diposisikan secara hierarkis. Manusia memosisikan dirinya lebih tinggi ketimbang lingkungan karena ia memiliki modal intelektual yang dianggap tak dimiliki lingkungan.

Posisi dominan manusia terhadap lingkungan di sini seakan-akan lazim, bahkan menjadi struktur kultural masyarakat—terutama perkotaan—sehingga melahirkan sikap eksploitatif tanpa mengindahkan preferensi etis.

Epistemologi lingkungan bisa beraneka rupa cakupannya, namun setidaknya terdiri atas altar natural sebagai tempat kehidupan tumbuh, berinteraksi, dan melakukan reporduksi. Manusia, tentu, merupakan komponen inheren dari lingkungan itu.

Demikian pula hewan dan tumbuhan. Komunitas hidup dan benda mati bersemuka secara resiprokal di lingkungan. Mereka saling membutuhkan. Pada kondisi tertentu semua itu juga saling menegasikan karena hukum alam semacam membunuh atau dibunuh menjadi keniscayaan alam.

Ranah etika lingkungan masih terus diwacanakan di mimbar akademik sebagai bentuk resistensi terhadap pelbagai praktik pragmatisme ekonomis. Jamak orang mafhum kalau pemanfaatan lingkungan tanpa mempertimbangan aspek etis dapat memporak-porandakan alam itu sendiri.

Kepentingan modal sering tak memedulikan posisi itu sebab di mata mereka hanya ada keuntungan finansial. Pembangunan dengan dalih pendongkrak denyut ekonomi nasional menjadi imperatif yang tak terelakan tatkala menengok kebijakan korporasi dewasa ini.

Ambisi pembangunan oleh manusia yang melegitimasikan spirit modernisme seakan tunanetra etika lingkungan. Etika di dalam konteks ini merupakan navigasi sekaligus pertimbangan futuristik mengenai implikasi pembangunan terhadap lingkungan. Sekalipun ia sudah melakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), kebanyakan riset seputar itu masih terjebak pada distorsi aksiologis.

Alih-alih hasil itu disesuaikan dengan implikasi empiris yang ditempuh dengan metodologi yang ketat, malah yang terjadi justru terjadi manipulasi data maupun hasil yang disesuaikan dengan kehendak korporasi. Di sini letak kebohongan saintifik demi menggolkan orientasi pembangunan di arena lingkungan.

Problem etika lingkungan yang mesti ditelusuri akar persoalannya ialah perspektif manusia memandang alam. Tesis tersebut perlu dibentangkan dan dianalisis lebih komprehensif sebagai fondasi utama untuk mencari musabab eksploitasi lingkungan yang dikembangkan di bawah narasi pembangunan fisik.

Dugaan yang relatif logis untuk meneroka persoalan itu antara lain posisi lingkungan yang dipandang subordinatif oleh manusia. Preasumsi manusia “mengobyekkan” dan/atau “menomorduakan” lingkungan jelas ditimbulkan oleh kecenderungan kekuasaan—yang kuat bersikap manasuka kepada yang lemah.

Rekonstruksi Kesadaran

Tak jelas sejak kapan manusia mengesampingkan atau menyepelekan posisi alam secara instrumental. Kalaupun dijunjung luhur, tetap saja terdapat sisi pragmatis: hendak mengambil keuntungan darinya. Hipotesis mutakhir menunjukkan pergeseran yang degradatif pemosisian alam terjadi manakala rasio manusia dipuja besar-besaran, yaitu sepanjang Abad Pencerahan sampai Revolusi Industri dihela.

Pijakan fundamental kenapa alam disubordinasikan oleh manusia ditengarai karena pemahaman antroposentrisme yang masih mengakar kuat di dalam struktur pengetahuan subjek. Jamak orang menganggap demikian karena menempatkan dirinya secara dominan di muka liyan. Desakan hegemonik semacam inilah yang membuat lingkungan teralienasi dan terkooptasi secara total.

Kedudukan manusia yang antroposentris—titik pusat kesadaran mengerucut pada manusia—itu mesti direkonstruksi agar dimensi epistemologi mengenainya dapat bergeser ke tataran keseimbangan. Artinya, manusia sebagai pusat pelbagai sesuatu harus diubah proyeksi sentrifugalnya sehingga memosisikan alam tak sekadar subordinatif tapi lebih ke arah ordinatif.

Acuan keseimbangan antara manusia dan alam pada konteks ini dapat dilakukan sejak di dalam pikiran. Rasio berperan signifikan di sini. Selain karena merupakan faktor determinan atas keputusan yang diucapkan dan dimanifestasikan subjek, ia juga sekaligus menjadi komitmen personal yang berada di ranah privat. Mulai dari rekonstruksi epistemologis yang disadari manusia, dengan demikian, akan berimplikasi pada ekspresi kultural bagi lingkungan itu sendiri.

Selama ini kebijakan atas lingkungan hidup masih terjerat pada kebingungan semantik manakala menerjemahkan sisi etis: bagaimana seharusnya lingkungan sebagai bagian dari konstelasi kosmos diperlakukan dengan mengacu pada nilai-nilai inheren dan partikular. Keputusan ini dipandang problematis karena perlakukan subjek terhadap objek masih terpaku pada kesadaran hierarkis.

Etika lingkungan, betapapun bentuk kebijakan dan relasinya dengan keputusan politik yang “eksploitatif”, baru menyublim di balik siapa aktor di belakang panggung. Dengan kata lain, etika lingkungan, sekalipun niscaya terikat pada relasi kuasa yang tak bebas kepentingan, baik dilakukan secara personal maupun komunal. Menyiasati masalah tersebut, karenanya, mesti ditempuh melalui pendekatan dekonstruktif atas makna epistemologi antara manusia dan lingkungan.

Pandangan filsafati menjadi relevan disibak di sini. Tanpa basis filsafat yang jelas dan netral—walaupun netralitas merupakan utopia yang tak ajek dan selalu tendensius—kesadaran epistemologis hendaknya diposisikan secara fundamen tatkala menyoal lingkungan sebagai subjek sekaligus objek bagi manusia.

Pada paradigma Jawa kontemporer (Mataram Islam) tak lengkap bila sekadar menyejajarkan hubungan horizontal dan vertikal semata. Ia melampaui sekat-sekat identitas dengan mempertimbangkan variabel hubungan manusia dan alam, selain posisi resiprokalnya dengan causa prima dan manusia itu sendiri (sosiologis). [] bersambung …

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *