“Mestinya sekolah merupakan tempat dimana orang-orang dapat memuaskan dahaga keingintahuanya, mewujudkan impian dan imaji kekaryaannya” ( Bab Sekolah dan Taman ). Toto Rahardjo ( penulis ) seakan mengajak pembaca untuk merenung kembali tentang indahnya sekolah yang kini hilang dan justru malah terkesan menakutkan dengan tugas-tugas yang yang tidak henti-hentinya. Sekolah diharapkan seperti taman yang menghadirkan kegembiraan, tempat mengukir kenangan, dan bukan malah seperti penjara yang menakutkan. Dimana siswalah yang menginginkannya, sedangkan sekolah hanya fasilitator bakat minat. Gagasan membebaskan dan mengeksplore bakat dan minat ini terinspirasi oleh Tagore yang kemudian di Indonesia diaplikasikan dan diperjuangkan dengan transformasi khas keIndonesiaan oleh Ki Hajar Dewantoro.
Ajaran Ing ngarso sung tulada ( di depan memberikan teladan ), ing madya mangun karsa ( yang tengah membangun inisiatif/kemauan ), Tut Wuri Handayani ( dari belakang mendukung ) sempat menjadi kebanggaan Rakyat Indonesia karena memiliki konsep pendidikan sendiri meskipun malah ironisnya tidak diterima dan malah Indonesia justru mengekor kurikulum Barat. Mirisnya lagi ajaran ini justru dipraktekan atau mirip yang dilakukan Negara Finlandia yang kini menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Kenapa kita tidak kembali saja ke Taman Siswa?
Faktanya kembali mempraktekan Taman Siswa tak semudah membalik telapak tangan sebab di Indonesia, sekolah seolah menjadi komoditi perusahaan. Buktinya sistem akriditasi yang mengkelompokan yang pintar dengan pintar maka ujungnya sekolah akan menjadi favorit dan biaya mahal sebaliknya yang bodoh akan terbuang dan berkumpul dengan yang bodoh maka sekolah jadi pinggiran dan murah. Baru masuk sekolah saja kita sudah dikelompokan dengan nilai dan hasil. Padahal semestinya pintu masuk sekolah itu adalah minat dan bakat murid bukan pintar atau tidak pintar. Orangtua yang harusnya bisa menggali dan menemukan bakat dan minat anaknya sehingga jangan sampai ada istilah salah jurusan.
Sekolah juga tampaknya tidak berorientasi pada pembangunan manusia Indonesia, namun sekolah sebagai pasar untuk calon pekerja. Sekolah sebagai industri. Sekolah tidak lagi berfokus pada minat dan bakat tetapi lebih melihat apa yang dibutuhkan industri sehingga tidak heran jika frase bekerja itu menjadi karyawan, pns, bukan mandiri berjuang sesuai bakat dan minatnya. Sekolah yang semestinya menjadi garda terdepan peradaban kini hanya menjadi ekor industri.
Kaum terpelajar, menurut almarhum W.S. Rendra, adalah mereka yang “berumah di angin”. Kaum terpelajar mengambil jarak agar senantiasa dapat mengamati dan mempelajari perkembangan di masyarakat dengan objektif dan seksama. Mereka tidak terjun dalam rutinitas persoalan keseharian agar ide-ide yang mereka sumbangkan dapat mewakili kepentingan semua golongan, dengan kesegaran dan ketajaman yang genuine. Almarhum W.S Rendra memang benar, rumah kaum terpelajar berada di angin. Namun, sejarah juga membuktikan bahwa jika kaum terpelajar memutuskan untuk melangkah dari balik awan dan turun menginjak bumi, maka perubahan-perubahan bisa terjadi. ( Toto Rahardjo ).
Bagi SALAM ( Sanggar Anak Alam), mestinya lembaga-lembaga pendidikan menjadi bagian dari masyarakat sekitar, membaur dan bersinergi sehingga masyarakat dan sekolah juga sama-sama belajar menyatukan dan mempraktikan langsung. Tapi ironi justru sekolah makin menutup diri dengan masyarakat misalnya bikin masjid sendiri, lapangan sendiri dll padahal andai menggunakan fasilitas masyarakat tentu siswa dapat membaur dan mengenali gejala – gejala atau fenomena yang berkembang di masyarakat. Walhasil sekolah semakin berjarak dengan masyarakat. Sekolah seolah punya dunianya sendiri dan tidak jadi solusi bagi masyarakat.
Saat orangtua menyekolahkan anaknya bukan berarti total diserahkan sehingga orangtua lalu apatis pada perkembangan pendidikan anak. Hal ini masih marak terjadi di masyarakat. Banyak orangtua berfikir setelah menyekolahkan mereka berlepas secara pendidikan padahal pengalaman real sang anak di kehidupannya sangat dibutuhkan. Misalnya adab, sopan santun, belajar masak, bertani, berkebun, dll hal ini juga harus ditransferkan ilmunya ke anak.
“Mereka berharap anak – anak mereka belajar menghargai proses dan kerja keras.” ( Hal. 60 ). Siswa juga semestinya diajari untuk menghargai proses bukan hasil bahwa kegagalan itu bagus karena dengan gagal kita jadi tahu kekurangan dan ada perbaikan. Bayangkan jika siswa dipaksa harus sempurna dan harus berprestasi sejak dini maka ketika mengalami kegagalan ia akan sedih dan menderita dan tidak tahu cara untuk bangkit. Jadi jangan doktrin siswa supaya berprestasi tapi doktrinlah supaya siswa menghargai kegagalan dengan begitu ia akan bisa survive di kehidupannya kelak
“Prinsip salam yang tak mengkotak-kotakan anak berdasarkan keyakinan beragama orangtuanya. Ia mendambakan anaknya belajar toleransi sejak kecil” ( hal.60 ). Marak terjadi praktik ekslusif dan cenderung tertutup dengan agama lain sehingga toleransi hanya sekedar wacana, semestinya memang siswa diberitahu siapa dirinya, siapa temannya, apa bedanya, apa persamaanya sehingga melihat orang lain yang berbeda dengan dirinya ia akan toleran dan respek.
“Sekolah yang mengutamakan proses pembentukan karakter” ( hal. 62 ). Sekolah kita hari ini cenderung terpaku pada nilai dan prestasi sedangkan karakter seolah tak dinilai. Hal ini akan memicu sifat matrealistik dan pengagungan akan status. Ternyata hidup dalam orientasi materialistik sudah tertanam sejak anak-anak—bahkan untuk mengukur prestasi anak juga sangat material. Apakah anaknya yang masih di PAUD sudah bisa baca tulis hitung? Anaknya bisa masuk sekolah favorit apa tidak? Ranking berapa? Nanti setelah dewasa ganti pertanyaan tapi ukurannya sama; kerja di mana? Kaya apa tidak? Punya mobil apa tidak? Jadi orang terkenal apa tidak? Nyaris tidak ada perhatian, penghargaan untuk anak-anak yang jujur, anak-anak yang solider, anak-anak yang selalu menyayangi temannya, anak yang sebelumnya kasar menjadi lembut—nilai-nilai yang bersifat rohaniah tersebut memang terabaikan.
“Ia menginginkan anaknya belajar mencintai tumbuh-tumbuhan dan alam sekitar. Ia tak mau anaknya terasing dari lingkungan dan akarnya”( hal. 62 ). Jika membaca narasi ini, ada baiknya kita baca juga puisi WS Rendra yang berjudul “Seonggok Jagung”
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
Setelah membaca puisi ini saya seperti menampar wajah saya sendiri. Fenomena “Disini aku merasa asing dan sepi” benar -benar saya rasakan setelah lama hidup di tanah rantau. Garis besar yang saya petik adalah masyarakat memang akan melihatmu, melihat sukses atau tidak, dll tetapi masyarakat akan menghargai orang yang mau berkontribusi serta membaur dengan masyarakat tanpa sekat jabatan atau tahta.
“Ada juga orangtua yang memilih tidak menyekolahkan anaknya di dekat rumah mereka yang ditengah kota karena tak ingin anaknya jadi generasi mal. Ia ingin anaknya membangun kepekaan dengan alam.”
“Mencari sekolah yang mengizinkan anaknya berpakaian apa adanya.” ( hal. 63 ). Ada juga siswa yang tak mau diatur. Nakal. Suka berkelahi. Padahal jika diarahkan ke hobi yang tepat hal ini bisa positif. Suka berkelahi bisa disalurkan ke karate, pencak silat dll.
Biasanya orangtua siswa sebelum memutuskan masuk ke SALAM mereka sudah cukup lama bergumul, berdiskusi tentang menyekolahkan di SALAM, tidak seperti di sekolah umum yang cukup membayar lalu pasrah bongkokan. Orangtua harus berperan aktif- bahkan dalam prinsip pendidikan SALAM, partisipasi orangtua sangat ditekankan. Artinya guru – siswa – orangtua harus sama – sama aktif dalam perkembangan pendidikan.
Ada Metode Jaring laba – laba yaitu siswa dilatih untuk mengaitkan semua topik yang telah mereka pelajari dengan sesuatu yang bermakna dalam keseharian sehingga membantu mereka mempelajari banyak hal dengan lebih luas dan mendalam. Misalnya topik tentang ikan. Maka semua aktivitas pembelajaran selama sepekan itu berkaitan dengan ikan. Siswa akan melakukan pengamatan langsung dengan ikan sehingga mereka juga belajar biologi dan geografi sekaligus. Atau mereka menggambar karya seni tentang ikan yang mereka observasi. Dll Peran guru tidak berlaku sebagai “sang segala tahu” yang memaksakan isi kepalanya ke dalam wadah-wadah kosong. Tugas utama guru adalah merawat hasrat ingin tahu para murid, menemani mereka dalam proses bakat minat mereka sehingga peran guru adalah pengayoman.
Buku ini sangat rekomended dibaca buat para orangtua, para guru, aktifis pendidikan dan masyarakat yang perduli dengan sistem pendidikan di Indonesia. Toto Rahardjo dengan SALAMnya menawarkan solusi buat sistem pendidikan di Indonesia. Selamat membaca ! Semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik dan maju. []
Em Amir Nihat
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply