”Iming-iming pendidikan akan mendongkrak status sosial seseorang nyatanya hanya pepesan kosong. Mitos ini terus diproduksi tiap kali membincangkan pendidikan sebagai upaya mewujudkan perubahan sosial bagi seseorang.” Seberapa besar diri dan pikiran kita melimpahkan segala hal tentang citacita masa depan kepada institusi berjenis pendidikan? Jika hidup adalah soal mencari ilmu (pengetahuan), sebatas dalam kotak dunia pendidikan yang sangat administratif dan birokratiskah kita mesti berjibaku, nggetih menimba ilmu (pengetahuan)? Istilah “belajar” misalnya, apakah kemudian harus selalu identik dan dikaitkan hanya dalam bentuk aktivitas (ber)sekolah? Memang institusi pendidikan memberikan insight yang mungkin tidak bisa kita dapatkan mata air pengetahuannya selain hanya di dalam di area tersebut. Itu pun asalkan ia (institusi pendidikan) berlaku sebagaimana mestinya. Tetapi, seandainya institusi pendidikan menjelma sebagaimana industri pabrik, apa yang kita harapkan darinya? Iming-iming bahwa dengan berpendidikan, mendapatkan banyak gelar misalnya, akan mampu mendongkrak status sosial kita?”.
Dengan kata lain, kita menjadi seorang yang terpandang, berbeda dari yang lain (the other), berpenampilan elitis, punya status sosial yang bagus dalam mata masyarakat berkat kita berpendidikan, umpamanya. Sehingga kita tergiring untuk merasa diri superior terhadap liyan. Mohon maaf, apa bedanya kita dengan kelompok penindas, meskipun kita tidak secara sengaja ingin menindas? Cacat cara berpikir semacam itulah yang mestinya segera diluruskan dalam imajinasi institusi pendidikan, kalau memang pendidikan yang diselenggarakan adalah bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Soal ini adalah kritik mental.
Omong-omong soal pendidikan, arah tujuan pendidikan itu digelar idealnya adalah guna mendidik manusianya, bukan pada praktik pendiktean manusianya sekadar dicetak untuk menjadi onderdil-onderdil dari proyek yang penuh akan nilai-nilai dehumanisasi. Artinya, pendidikan mesti memposisikan sekaligus menjadikan manusianya sebagai subjek yang “bebas”. Bukan justru sebaliknya. Pendidikan haruslah membebaskan, bukan malah membelenggu akar potensi manusianya. Seandainya, pendidikan tidak menjadikan manusia sebagai seutuhnya manusia, saya berani berkata bahwa itu bukanlah: pendidikan. Dan, saya berani menjamin kurikulum sebagus apapun, apabila cara pandang dunia pendidikan masih saja demikian, pendidikan tidak akan pernah sampai pada tujuan sucinya. Misalnya, guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu pula yang menjadi tema-tema penting yang diulas sekaligus dikritik dalam buku Manusia Tanpa Sekolah karangan Ronny K. Pratama. Sebagai perasan akan sari pati pemikiran Toto Rahardjo, ia membawa satu semesta kritik tentang bagaimana sistem sekaligus mekanisme pendidikan negara (Indonesia) yang begitu memprihatinkan, dan tampak ironi. Satu contoh umum, betapa lucunya dunia pendidikan kita, kalau tidak boleh dikatakan dungu adalah bahwa, sekolah-sekolah hanya menjaring, atau mau menerima siswa-siswa yang sudah pintar (berprestasi tinggi), sedangkan mereka yang tidak cukup syarat akan dieliminir. Tidak salah memang. Tetapi, saya kira itu menjadi cacat cara berpikir, bahwa seharusnya sekolah itu mendidik siswa untuk yang tadinya tidak pandai menjadi pandai. Bukan sebatas menerima siswa-siswa yang pandai. Lebih dari itu, institusi pendidikan bukanlah tempat para siswa harus bersaing untuk mendapatkan ranking satu.
Dengan cara menyamaratakan kemampuan para siswa hanya pada satu parameter indeks. Tidak jago matematika bukan berarti dia siswa yang bodoh. Sebaliknya, kejeniusannya dalam bidang fisika tidak lantas menunjukkan dia paling cerdas, apalagi terhormat di sekolahnya. Maka, lembaga pendidikan sudah semestinya menjadi wadah yang membimbing sekaligus menghantarkan para siswanya untuk berprestasi: menemukan akar bakat alamnya. Bukan kemudian membikin cluster mana siswa yang pandai dan mana yang kurang pandai (bodoh). Toto Rahardjo dalam Sanggar Anak Alam (SALAM) yang diiniasinya setidaknya ingin memberikan kritik terhadap realitas dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan kita dewasa ini. Toto Raharjo dengan (SALAM)-nya menjadi semacam subkultur, sekaligus juga resisten terhadap budaya dari sistem dan mekanisme dunia pendidikan kita di tanah air tercinta. Bagaimana seharusnya sistem sekaligus mekanisme pendidikan diberlangsungkan demi tumbuh kembangnya potensi manusia? Toto Raharjo, menyebut bahwa dalam konteks proyek pengembangan potensi manusia, apa yang dimaksud sebagai proses pengalaman justru jauh lebih penting untuk diutamakan ketimbang sebatas transfer pengetahuan yang sering dipakai oleh sekolah-sekolah konvensional. Kecenderungan model pendidikan seperti itulah yang acap kali membunuh kesadaran manusia sebagai subjek yang bebas, dan itu kebawa pula tatkala siswa beralih status menjadi mahasiswa. Meskipun tidak secara keseluruhan, tetapi rata-rata mahasiswa, subjek berkesadaran, seakan kehilangan sisi kreatif dan imajinatifnya. Ia hanya menunggu, dan lebih suka didikte ketimbang mengeksplorasinya sendiri. Parahnya lagi, pada praktiknya dunia pendidikan berlaku sangat administratif dan begitu birokratis.
Pada akhirnya, kecenderungan manusia bersekolah bukanlah untuk belajar, tetapi adalah demi mendapatkan ijazah untuk nantinya dapat ia gunakan sebagai pendobrak status sosialnya di masyarakat. Ijazah secara ilusif menjelma kertas sakti yang seolah memiliki daya magis untuk menghantarkan pemiliknya bisa hidup enak. Padahal tidak demikian faktanya. Dan, lucunya, kita baru (telat) sadar bahwa apa yang dibutuhkan sesungguhnya bukanlah soal lembar ijazah, tetapi lebih pada soft-skill dari masing-masing manusianya. Kita semua boleh dibilang kecelé. Masalahnya, seberapa sudah institusi pendidikan kita hadir sekaligus memberikan kecukupan fasilitas untuk tumbuh kembang soft-skill masing-masing manusianya (peserta didik)? Sudah seharusnya pemerintah dengan institusi pendidikannya wajib memfasilitasi hak belajar seluruh masyarakatnya tanpa terkecuali. Tetapi, ironisnya, dalam buku Manusia Tanpa Sekolah, menyebutkan: pendidikan di Indonesia justru dikapitalisasi (h, 220). Pertanyaannya kemudian, siapa yang mengkapitalisasi pendidikan di Indonesia,?.
Tentu boleh dikatakan bahwa sesungguhnya ada campur tangan kuasa pemerintah dengan alur ritme pendidikan di negara kita ini tatkala mekanisme pendidikan diberlangsungkan. Pada dasarnya, praktik birokratisasi pendidikan sesungguhnya telah dimulai sejak republik ini berdiri, dan semakin dikukuhkan dengan dan sebagai sistem yang baku, beku dan ketat pada era kepemimpinan Soeharto. Tahu sekolah-sekolah Inpres, bukan? Ya, itulah. Pada intinya, praktik birokratisasi tersebut adalah upaya guna memperlemah institusi pendidikan sebagai pihak yang subordinat. Dalam buku ini, disebutkan, bahwa institusi-institusi pendidikan, sekolah misalnya, dalam balik layar narasi-narasi besar pengembangan kualitas dan transformasi perubahan pendidikan yang disuntikkan oleh aparatus terkait, sesungguhnya menegaskan nihilisme otonomi akar rumput. Apa itu? Ya, contohnya adalah terjadinya pendiktean dalam dunia pendidikan. Keadaan semacam itu akhirnya memunculkan ambivalensi baru. Yakni, di satu sisi sekolah digadang-gadang agar otonom, namun di lain sisi sekolah ditanggalkan independensinya secara perlahan dan subtil. Bahwa, semua kebijakan atas nama dan untuk nasib sekolah (institusi pendidikan dalam arti luas) direbut oleh aparat semata-mata adalah demi perbaikan kualitas. Tapi, pada kenyataannya? Bagaimana kualitas pendidikan kita hari ini, yang secara umum terjadi? Silahkan, dielaborasi sendiri. Termasuk pula dalam soal jargon pendidikan karakter. Apa yang luput dari pandangan kritis? Dalam buku ini menyebut, “peran dan makna pendidikan karakter telah mengalami politisasi sebagai hasil konvensi yang berkuasa untuk mengkategorikan benar atau salahnya sesuatu.”
Maka tak heran, apabila Toto Raharjo memandang bahwa pendidikan karakter dalam dasawarsa belakangan dikampanyekan pemerintah, bahkan perguruan-perguruan tinggi pun juga ikut menyemarakkan, senyata-nyatanya lebih bernuansa: proyek penguasa. Loh, kok proyek penguasa? Karakter itu sesuatu yang kompleks. Mana mungkin bicara soal pendidikan karakter tapi dalam praktiknya ditempatkan hanya sebatas dalam tataran teknis, bahkan syarat akan proyek penguasa. Karakter, kok, (di)dikte! “Merdeka Belajar” pun tak luput pula dari pengamatan Toto Raharjo. Begini, yang kiranya cukup menggelitik, bagaimana mungkin kita sukses menyelenggarakan konsep “Merdeka Belajar”, kalau belajar (dengan) merdeka saja kita belum benarbenar sukses. Sudahkah kita benar-benar belajar dengan merdeka? Bagi Kiai Tohar (sebutan Toto Raharjo), manusia haruslah merdeka terlebih dahulu. Sebab, kalau manusia terkekang, maka geliatnya sebagai individu (subjek yang bebas) akan menjadi terbatas. Akhirnya, pendidikan kita mabuk karena kebanyakan meneguk jargon-jargon yang terdengar klise di telinga. Kiai Tohar menyamakan jargon “Merdeka Belajar” tersebut sebagaimana jargon “Salam Literasi” yang tak ubahnya terpeleset sebatas sebagai pepesan kosong. Muntah kita lama-lama! Bahkan, dengan kritisnya, Kiai Tohar berpendapat, bahwa “Merdeka Belajar” begitu legitnya dikomoditaskan. Oleh siapa? Oleh yang berwenang. Sebagaimana barang, jargon tersebut secara sengaja sibuk dikemas sedemikian rupanya untuk kemudian disodorkan ke publik dan dunia persekolahan. Sasarannya jelas, adalah peserta didik, guru bahkan juga para staf administrasi. Tetapi yang paling kena efek getahnya adalah peserta didik. Dan, yang menarik dalam buku ini dituliskan demikian, “Mari kita simak terlebih dahulu empat pokok di belakang jargon “Merdeka Belajar”. Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti ujian berbasis penugasan dan portofolio. Kedua, Ujian Nasional (UN) dihapus dan diganti Asesmen Kompetensi Minimum serta Survei Karakter. Ketiga, menyederhanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan (RPP). Keempat, aturan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) disederhanakan. Semua butir tersebut sekadar mempersoalkan teknis.” Lantas Kiai Tohar melihat sekaligus menganalisa lewat pembacaan kritis, mendapati bahwa ia (Merdeka Belajar) sesungguhnya hanya bertujuan mengoreksi pada soal tata cara administratif pemerintahan dalam dunia pendidikan sebelumnya. Maka, tak ayal apabila Kiai Tohar menyebut gagasan “Merdeka Belajar” semata-mata hanyalah reformasi birokrasi, khususnya pada bidang penilaian pembelajaran dan teknis pendaftaran sekolah, bukan soal revolusi “Merdeka Belajar” sebagaimana yang sering dipidatokan, diseminarkan, diorasikan secara kemrutuk dan heroik. Ternyata, tak ada perubahan radikal apapun di situ. Nah, kan, kecele lagi! Ya, mungkin inilah realitanya, apabila otoritas ilmu pengetahuan yang di sini diwakili oleh institusi pendidikan sebagai ranah yang seharusnya objektif, punya independensi nilai, dan punya nalar kritis nan sehat direnggut oleh aparatus (itu). Sehingga, tatkala otoritas tersebut direnggut, atau dengan kata lain menjalin hubungan mesra dengan kekuasaan, sudah jelas bahwa entitas ilmu pengetahuan tak ubahnya dengan alat penindasan. Ya, institusi pendidikan sesungguhnya adalah alat penindasan itu sendiri! Logikanya begini, karena mereka berdua menjalin hubungan mesra, maka ketika pemerintah (penguasa) memberikan perhatian lebih (yang melebihi batas nalar etis) kepada pihak institusi pendidikan (termasuk lembaga keilmuan), tentu bukan tidak mungkin ia (institusi pemerintahan atau penguasa) akan mendapatkan legitimasi kebijakan yang dicetuskannya secara keilmuan dari para akademisi, intelektual, dan para ahli. Dan ketika hal tersebut dilakukan (entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi), maka pada saat itulah terjadi perselingkuhan (praktik zina) antara penguasa dengan institusi pendidikan (perguruan tinggi, misalnya). Alhasil, praktik pendidikan kita tak ubahnya sebuah praktik penindasan. Kita semua memang harus segera insyaf. []
Ahmad Miftahudin Thohari
(https://issuu.com/lpmlocus/docs/majalah_lajur_edisi_7/s/17818107)
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply