Ada dua tulisan dari dua orang pembaca Buku “Kami Tidak Seragam” yang perlu disimak bagi warga SALAM, sebagai sesama orang tua murid, sebagai sesama orang-orang yang mencintai anak, sebagai sesama orang-orang yang mendambakan sebuah ekosistem proses belajar yang tidak menyeramkan serta mampu mewujudkan sukacita, kemerdekaan anak untuk menemukan jati dirinya. Di bawah ini review mbak Fortu Tyastrinestu dan mas I den Wildensyah.
Kreativitas ala ‘Bolu Kukus’ Salam
Saat ini berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan, kreativitas masih didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan unjuk kerja orisinal sekaligus yang tak terbayangkan serta tepat (berguna dan adaptif). Sementara kreativitas tidak hadir dalam kekosongan tetapi selalu berada dalam lingkungan kehidupan. Sehingga konteks interelasi antara tatanan fisik, keluarga, sekolah, upaya dan budaya tidak terpisahkan.
Yang unik dari buku “Kami Tidak Seragam” adalah belajar dengan merdeka sesuai karaktristik anak yang selalu ingin tahu dan mencari. Ketika anak berada di usia bertanya, setiap hari selalu bertanya dan menanyakan hal-hal yang untuk kita orang dewasa adalah hal biasa. Justru karena biasalah kadang kita melalaikan dan tidak memperhatikan benih-benih kritis dan daya kreatif anak melalui pertanyaan yang bernas dan cenderung diulang-ulang: “Ini apa? Kok bisa? Mengapa seperti ini? Kalau ini apa? Mengapa? Jadi ini ya? Kalau ini apa? Itu apa?”. Pertanyaan awal dalam penelitian eksplorasi anak.
Buku ini menunjukkan bahwa anak adalah periset yang ulung dan genuine melalui langkah-langkah dalam penelitian yang berawal dari pertanyaan dan kegelisahan anak, rasa penasaran, dan keingintahuan melihat lingkungan di sekitarnya. Dari lingkungan hidupnya anak belajar.
Memahami anak tidak hanya dari sudut pandang bangku-bangku kelas. Namun bagaimana pengalaman anak dapat menjadi milik mereka. Kekuatan dari buku ini adalah anak-anak menjadi pribadi yang merdeka yang menentukan sendiri apa dan bagaimana ketertarikan mereka diaktualisasikan secara nyata melalui pengalaman mereka.
Benih kreativitas sudah dipupuk semenjak kecil dengan: berani mencoba hal baru, punya rasa ingin tahu yang tinggi, tidak takut salah atau gagal, punya banyak alternatif, banyak membaca dan mencari hal baru, punya selera humor, tidak meremehkan hal-hal kecil dari orang lain, berani berbeda, selalu mencatat atau merekam ide-ide yang ditemukan, tidak sabar merealisasikan ide-idenya.
Mengapa kreativitas penting? Dengan berkreasi kita dapat mewujudkan diri dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok manusia. Bersibuk diri secara kreatif tidak saja bermanfaat tetapi juga memberikan kepuasan batin. Kemampuan menyelesaikan masalah secara kreatif (dari berbagai sudut penyelesaian) menjadikan kita lancar dan luwes dalam berpikir serta kaya gagasan.
Tidak takut salah dan gagal merupakan kunci dalam setiap percobaan pertama. Namanya saja percobaan, mencoba memulai hal baru merupakan proses yang biasa dan umum dilakukan. Riset Bolu Kukus Nayla, misalnya, menggambarkan bahwa percobaan pertama belum berhasil disertai beberapa refleksi anak. Bagaimana belajar dari pengalamaan percobaan yang gagal sebagai elan pembangkit untuk lebih mengetahui dan menemukan resep yang terbaik terus dilakukan. Semangat, kerja keras, dan terus belajar adalah pengalaman yang ditularkan melalui ‘Bolu Kukus’.
Ketika anak-anak yang lain sebatas melihat, mencicipi dan merasakan Bolu Kukus yang dibeli, “Bolu Kukus” buatan anak Salam telah menginspirasi anak-anak lain untuk berproses dengan riang gembira. Terima kasih ‘bolu kukus’nya.
Cerita Menarik Ketika Kami Tidak Seragam
“Orang banyak berkonsentrasi belajar dari buku dan melupakan untuk belajar dari alam bebas yang sebenarnya lebih kaya, alam terkembang jadi guru” Rabindranath Tagore
Belajar di era teknologi sekarang semakin terbuka dan mudah. Kemudahan yang didapat kemudian memberikan dua sisi mata uang yang menarik. Di satu sisi membuat semua orang bisa melek informasi setiap waktu, di sisi yang lain membuat beberapa orang malas untuk mencari sesuatu yang baru ketika merasa semua bisa disediakan dengan mudah. Keseimbangan untuk tetap mencari sesuatu yang baru lewat kegiatan sehari-hari menjadi sangat penting. Salah satu kuncinya adalah melatih bertanya!
Di dunia pendidikan sekarang, di mana semua kemudahan sudah tampak di depan mata, kemampuan bertanya itu menjadi sangat penting. Melatih anak untuk bertanya menjadi sebuah tantangan tersendiri setidaknya buat saya selama bergiat di sekolah alternatif. Pada awal bergiat di sekolah, anak sangat sulit untuk bertanya. Kesulitan anak untuk bertanya ini bisa jadi efek dari metode pembelajaran sebelumnya yang masih konvensional seperti anak duduk dan guru ceramah seharian penuh.
Duduk pasif dan hanya mengulang kata-kata gurunya. Giliran diberikan kesempatan bertanya, semua membisu begitu saja. Kemampuan bertanya diawali oleh kemerdekaan yang harus dimiliki anak, anak yang merdeka tidak akan merasa sungkan untuk bertanya. Bertanya tentang fenomena alam, bertanya tentang keseharian, bertanya tentang pelajaran, bertanya tentang keterkaitan materi satu dengan materi lainya, dan pertanyaan lainnya.
Buat saya munculnya kemampuan bertanya ini juga diawali oleh guru yang merdeka yang siap memberikan cara untuk mengarahkan anak mendapatkan jawaban. Bukan guru yang menjawab semua pertanyaan anak sehingga anak menjadi dimanjakan oleh ketersediaan jawaban yang spontan dijawab saat ada pertanyaan dari anak.
Membangun keterampilan untuk berlatih bertanya menjadi pengantar menarik buku Kami Tidak Seragam karya Sanggar Anak Alam Yogyakarta. Sanggar Anak Alam yang dikenal dengan nama SALAM ini membagikan proses pembelajaran menarik lewat buku. Toto Rahardjo dalam pengantar buku menuliskan bahwa proses belajar pada dasarnya melatih berpikir, tidak sekadar menambah pengetahuan, pendidikan tidak berhenti dalam dunia persekolahan tetapi merupakan proses belajar sepanjang hayat.
Mengaitkan Pembelajaran
Kemampuan bertanya bisa mewujud dalam bentuk praktik pembelajaran di sekolah yang selalu mengaitkan antara teori dengan realitas. Kemampuan mengaitkan ini menjadi sangat penting karena anak akan belajar menyeluruh dari satu aspek yang dipelajari.
Nah, salah satu permasalahan besar pendidikan di Indonesia adalah sekolah hanya fokus pada ranah teori pengetahuan saja tetapi lupa mengaitkannya dengan realitas. Lewat daur belajar yang dipraktikan di SALAM Yogya, anak diajak untuk mengenal, memahami asal usul, sebab akibat, struktur sejak dari menemukan data, fakta, sampai dengan kesimpulan.
Praktik-praktik yang berdasarkan daur belajar tersebut muncul dalam bentuk laporan yang menarik serta cerita-cerita yang unik dari persfektif anak. Misalnya pada halaman 67 seorang anak kelas 4 menuliskan tentang riset jus jeruk. Dalam riset tersebut anak tidak sekadar melihat buah jeruk saja, ia menuliskan juga alasan pemilihan jeruk. Walaupun tetap saja ada faktor ibu dalam memilih jeruk tersebut. Ia menuliskan manfaat jeruk manis, menggambarkan bagian-bagian dari buah jeruk, kemudian menggambarkan daur hidup jeruk dari mulai biji lalu tumbuh tunas menjadi pohon lalu berbuah dan kembali ada biji.
Dalam cerita laporan riset jus jeruk, ia menuliskan “Sebelum membuat jus jeruk aku mencuci alat pemerasnya. Setelah itu aku memotong 2 jeruk lalu aku peras. Setelah itu aku memotong 4 jeruk terus aku memerasnya lalu dimasukan dalam gelas lalu aku yang minum….“
Banyak sekali kisah-kisah lain sebagai hasil pembelajaran menyenangkan di SALAM Yogya yang ada dalam buku tersebut. Hampir kesemuanya memiliki keterkaitan yang kuat dengan kehidupan ini. Tidak ada yang terpisah satu sama lain. Anak menuliskan pengalaman di sekolah dan juga kegiatan di luar sekolah. Bidang-bidang yang ada dalam kehidupan bercampur baur dalam buku setebal 144 Halaman ini. Sebut saja fotografi, olahraga, musik, pertanian, teknologi, elektronika, lengkap menjadi kesatuan yang utuh dalam pembelajaran di sekolah.
Tidak Seragam Itu Pilihan
Di tengah penyeragaman-penyeragaman yang kencang dihembuskan oleh berbagai pihak, memilih tidak seragam adalah sebuah hal yang sangat menarik. Penyeragaman bisa muncul dalam berbagai wujud yang menyeramkan. Sebut saja proses standarisasi sekolah-sekolah mulai dari seragam anak-anak, seragam guru, bentuk bangunan yang sama, bahkan buku paket juga diseragamkan atas nama pemerataan pendidikan. Pada kenyataan, pendidikan seharusnya bisa mengapresiasi keberagaman manusia. Manusia beragam dalam banyak hal, latar belakang budaya, adat istiadat, dan keberagaman lainnya yang mendasari Bhineka Tunggal Ika.
Tidak seragam bisa dikaitkan sebagai bentuk pakaian yang dipakai sehari-hari dengan membebaskan anak untuk memakai baju apapun yang penting sopan dan juga lebih dalam dari sekadar fisik yaitu pemikiran. Keberagaman pemikiran hendaknya menjadi acuan untuk tetap bisa saling berkolaborasi satu sama lain. Hasil riset anak-anak di SALAM Yogya ini memunculkan keberagaman dalam pemikiran anak-anak yang khas. Yah, mereka tidak seragam bukan saja pakaiannya tetapi juga pemikirannya.
Saya merasakan banyak sekali pembelajaran yang bisa diserap dari proses belajar anak di SALAM Yogya ini, proses belajar yang sangat bermakna sehingga meninggalkan kesan yang mendalam untuk siapa saja yang bergiat bersama-sama di sekolah tersebut.
Bukan hanya untuk anak yang sedang belajar, orangtua yang mendampingi, dan fasilitator yang membuka pengalaman baru tetapi juga untuk pembaca seperti saya. Pengalaman yang sangat berharga untuk menjadi referensi dalam mendidik anak. Inilah sebentuk solusi praktis dan kreatif untuk membangun pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Praktik pendidikan di lapangan yang menarik. Tidak sekadar berteori saja persis seperti penutup dalam buku “Daripada sibuk bersungut tentang isu-isu pendidikan yang terasa makin seragam dan tidak masuk akal, saya memilih untuk belajar lagi tentang apa sesungguhnya makna belajar. Mengutip sebuah cara pandang SALAM: “Belajarlah dimanapun kamu berada, karena pengetahuan sesungguhnya ada di setiap hembusan nafas”
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply