Blog

PARKINSON

Pagi-pagi ada anak muda, katanya saat itu masih pelajar SMK dari malang, namanya Mohammad Rafi Azzamy minta aku untuk menulis semacam pengantar untuk buku dia. Aku bilang, aku musti baca dulu dong… dan kasih waktu, karena aku gak bisa menulis cepet-cepet. Setelah dia sampai Malang, Whatshap: kalau bisa cepet pak, karena buku akan diluncurkan persis dihari pengumuman ujian sekolah. Lalu aku tulis dan segera kukirim tulisan ini.

Buku Panduan Melawan Sekolah—judul yang lumayan provokatif apalagi jika dibaca oleh orang orang yang sepanjang hidupnya diabdikan untuk puja dan puji terhadap jagad persekolahan.Memang bagi khalayak tidaklah mudah untuk memahami bahwa dunia persekolahan juga tengah mengalami persoalan serta mengidap penyakit kronis—karena, banyak orang menganggap bahwa dunia sekolah itu sedang baik-baik saja.

“Apa yang sesungguhnya terjadi dalam upaya pembaharuan sistem pendidikan nasional selama ini tak lebih baik dari pada suatu usaha tambal-sulam yang melelahkan.  Asumsi bahwa pembaharuan kualitatif hanya bisa dicapai dengan pertumbuhan kuantitatif masih tetap menjadi pendekatan dominan. Pikiran yang hidup adalah: jika Anda ingin memperbaiki mutu pendidikan, maka perbanyaklah jumlah (ini dan itu). Logika para perencana pendidikan belum lagi beranjak dari logika hukum Parkinson.” Parkinson adalah sebuah teori yang menjelaskan ‘Pekerjaan berkembang sedemikian rupa agar waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya terpenuhi’.

Parkinson mengemukakan bahwa orang cenderung mengada-ngadakan pekerjaan untuk mengisi waktu. Terus terang saja ketika saya mendengar kata “parkinson” yang terlintas dipikiran saya pertama kali adalah nama penyakit yang diidap Muhammad Ali. Bukan, kita tidak sedang bicara tentang penyakit disini. Bukan pula mengenai ilmu hukum. Parkinson’s Law yang saya maksud disini adalah tentang salah satu cara digunakan adalah banyak orang sukses didunia untuk meningkatkan produktifitas mereka Pada tahun 1955 Cyril Northcote Parkinson, seorang sejarawan Inggris menulis essay berdasarkan pengalamannya di British Civil service. Dalam essay tersebut mengatakan, jumlah waktu yang kita berikan untuk suatu pekerjaan adalah sama dengan dengan berapa lama pekerjaan tersebut akan selesai. Misalnya, jika kita diberikan waktu seminggu untuk mengerjakan suatu makalah, maka makalah itu butuh waktu seminggu untuk selesai—memang kecenderungan banyak orang suka menunda pekerjaan.

Maka ketika Mohammad Rafi Azzamy anak muda menulis buku yang nada isinya protes terhadap praktek persekolahan dan minta saya untuk menulis pengantar untuk buku ini saya pelan-pelan membaca dan menuliskan hal ini—memang tidaklah mudah untuk memberitahukan kepada khalayak tentang problematika persekolahan, harus dipahami ketika kita membuka kembali kitab tentang riwayat pewajiban sekolah yang sudah berusia sangat lama dan telah berjalan cukup panjang, menjadikan orang-orang yang telah terlibat di dalamnya itu tidaklah mudah sensitif merasakan ada persoalan—bahkan cenderung imun karena telah menjadi kebiasaan. Coba saja kita mulai dari jejak Comenius (1592-1670)  yang meletakan dasar ilmu pendidikan dan pencetus ide pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak secara sistematis dan metodis, lalu  Pestalozzi (1746-1827) pencetus ide pengelompokan siswa secara berjenjang dan urutan kegiatan (matapelajaran) sistem klasikal. Maka boleh dikata Pestalozzi merupakan cikal bakal pola pelajaran sekolah modern yang telah dianut hingga sekarang ini. Apa yang terjadi itulah yang pada akhirnya menyebar serta dianut oleh berbagai bangsa di dunia.

Mari kita lacak perjalanan persekolahan yang berkembang, beranak pinak hingga saat ini :

  • pada tahun1524 berdiri sekolah publik modern pertama di Gotha Yunani Kuno, juga Sekolah Militer Sparta.
  • Abad 17-18 Sistem pendidikan nasional (wajib sekolah) pertama di Prussia Menjelang Abad 17 tren pendirian sekolah publik di Eropa
  • Pada abad 19 dimulai penyeragaman sekolah swasta dan sertifikasi guru; ijazah jadi syarat kuliah dan bekerja; kewajiban sekolah makin ketat di Eropa Abad 19, bahkan di Inggris, sekolah dirancang untuk menyiapkan calon pekerja di sektor industri
  • Abad 20 Sekolah digunakan sebagai alat indoktrinasi negara fasis dan komunis, dan realitanya hampir semua negara, termasuk Indonesia juga menggunakan lembaga sekolah menjadi media indoktrinasi.
  • Semua Negara di Eropa sudah menerapkan sistem pendidikan nasional di abad 21 Sekolah dijadikan pusat sebagai pembentuk identitas warga negara di era kebangkitan nasionalisme modern

Sedang sejarah persekolahan di Indonesia tidak bisa dipungkiri merupakan warisan tradisi sekolah kolonial berkat kebijakan politik etis kaum sosialis-humanis Belanda dan Inggris pada saat itu yang tentu saja juga dipengaruhi oleh perkembangan persekolahan di dunia lainnya.

Maka kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami dinamika lembaga yang bernama sekolah yang sejatinya memang tidak hidup di ruang hampa, ruang kosong, ada berbagai serta bermacam tarik menarik kepentingan—baik di internal maupun eksternal.

Satu contoh jika kita menelusuri tentang : “Riwayat perkembangan wajib belajar (compulsory education) yakni merupakan riwayat perebutan kontrol orangtua atas anak oleh Negara untuk kepentingan Negara sendiri; didesakkannya penyeragaman dan pemerataan yang dipaksakanpertumbuhan individual.”

Lalu bagaimana perkembangan dunia sekolah yang sebenarnya ia mewujud pada saat ini,  merupakan hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dan kearah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.

Sekolah pada akhirnya hanyalah satu kata untuk suatu tujuan dan makna yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya, pada wadak lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan.Semua sandangan kehormatannya yang sudah mentradisi selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, mestinya boleh saja diubah: boleh tetap ada, tetapi juga boleh tak ada, bahkan boleh saja ditiadakan sama sekali

Sekolah telah menjadi suatu pengertian stereotip, bahkan suatu stigma kental, dalam alam pikiran masyarakat yang telah dibebani dengan sejuta keharusan dan pembatasan yang makin mempersempit ruang gerak, wawasan, dan dinamikanya. Ini pula yang menyebabkan semua upaya untuk mewujudkan gagasan lembaga pendidikan alternatif yang menyimpang dari kebiasaan, menjadi suatu upaya yang nyaris tak layak, masih untung kalau tak dicap “gila”

Jadi selamat membaca buku ini, jika anda setuju teruskan membaca dan pahami, jika Anda tak setuju segera tutup buku ini dan buang ke tempat sampah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *