Blog

Menjadi Diri Sendiri

Kabar tentang Finlandia yang akan merubah kurikulum dengan meniadakan mata pelajaran untuk anak usia 16 tahun ke atas cukup membuat banyak orang terhenyak. Finlandia adalah salah satu negara yang dianggap cukup baik dalam menerapkan sistem pendidikan untuk warganya.  Tidak adanya peringkat, jumlah jam belajar yang ideal, hingga pendekatan materi yang lebih holistik diaplikasikan dengan tepat dalam kerangka kesetaraan dan non diskriminasi.

Ketika sang kiblat membuat sebuah terobosan, banyak diskusi hangat terjadi di komunitas-komunitas pendidikan. Meski membandingkan Indonesia pada Finlandia akan selalu melelahkan, tapi mengintip terobosan baru cukup mengasyikkan. Apalagi jika terobosan tersebut dilakukan oleh negara yang tentu sangat sulit masuk dalam abstraksi logika berpikir kita. Tidak ada mata pelajaran? Lalu anak-anak di kelas belajar apa? Ha, tidak di kelas? Dan ketercengangan lainnya.

Maka seketika banyak orang gagap mendengar berita ini. Segagap pemerintah menghadapi tantangan perubahan. Bahkan salah satu Direktorat Jenderal di Kemendikbud yang baru saja menyelenggarakan review juknis/pedoman pendidikan keluarga beberapa waktu yang lalu tampaknya masih meraba permukaan teratas dari lautan pertanyaan. Salah satunya adalah: bagaimana meningkatkan keterlibatan orangtua dalam pendidikan?

Sementara itu sebagian kecil pendidik dan pemerhati bergerak dalam sel-sel kecil. Menggedor paradigma penyeragaman pendidikan dengan laku-laku otentik yang merdeka. Membuat sanggar belajar, terlibat dalam komunitas, membangun jaringan hingga mantap memilih untuk menerapkan homeschooling untuk anak-anaknya.

Seperti yang dilakukan SALAM, sebuah sanggar belajar di Jogja Selatan yang terus menerus mengajak anak-anak peserta didiknya untuk belajar dari kehidupan sehari-hari. Mengupas topik sederhana semacam ‘bermain gitar’ menjadi pengetahuan multi subjek. Dinding pemisah yang bernama ‘mata pelajaran’ runtuh dalam keingintahuan bocah. Jika Finlandia sedang akan menghapuskan subjek/mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan menengah, SALAM  telah meniadakan mata pelajaran di pendidikan dasar sejak belasan tahun silam.

Sekolah Bertanya

Usia anak saya hampir 5 tahun. Usia dimana orang dewasa mulai sibuk bertanya: sudah bisa baca? Sudah bisa nulis? Kalau berhitung? Tentu saja polemik itu pernah mencuat ke permukaan, bahwa calistung bukanlah mata pelajaran pra sekolah. Sehangat apapun topik itu, toh seorang anak umur 5 tahun belum perlu bekerja menjadi penjaga kasir, misalnya. Jadi kapabilitasnya untuk membaca, menulis dan berhitung belum perlu diperhitungkan.

Tapi anak saya, seperti halnya anak usia 5 tahun pada umumnya, pernah mengalami membeli permen. Ketika permen yang ia beli berkurang satu, logika berpikirnya akan membawanya dalam hitungan sederhana: empat hilang satu tinggal tiga. Begitu juga saat cadelnya sembuh dan seketika bisa mengucap ‘rrrr’. Pertanyaan tentang bagaimana ‘menggambar’ huruf ‘r’ mulai muncul.

Begitu banyak pertanyaan terlontar dari seorang anak 5 tahun. Pertanyaan sederhana macam: apakah rumput itu benda hidup? Bagaimana dengan anjing? Kalau sepeda motor? Kalau hape? Jika kita sadar bahwa semua pertanyaan itu bisa menggiringnya pada pengetahuan dan pertanyaan baru, maka itulah sesungguhnya sekolah. Ruang kelas bisa dimana saja selama ada tanya jawab yang aktif menggiring ke banyak pertanyaan baru. Saya pribadi kerap menggelar kelas di atas kendaraan saat sedang berkendara dengan anak. Pemandangan sepanjang jalan yang dinamis menjadi pemantik visual untuk timbulnya pertanyaan-pertanyaan baru.

Seperti yang terjadi baru-baru ini. Ketika seorang kawan sekolah, Sandhi, membawa kartu boboiboy berbentuk segi enam. Karena bentuknya yang tidak biasa, anak-anak mulai bertanya tentang segi. Kami menghitung bersama jumlah segi hingga pertanyaan berlanjut ke segi-segi yang lain. Keesokan harinya, anak saya mengusulkan pada ibu guru untuk melakukan ‘petualangan bentuk’ sambil membawa kertas dan spidol.

Pola belajar dengan petualangan memang kerap dilakukan anak-anak SALAM dengan berjalan di sekitar sekolah. ‘Petualangan bentuk’ berarti berpetualang sambil mengamati bentuk benda sambil menggambarnya di buku. Hari ini, petualangan berkembang menjadi ‘petualangan hewan’.

Itulah sekolah bertanya. Seorang arsitek awal mulanya adalah seorang anak yang terus menerus bertanya tentang ruang dan bangun. Seorang astronom awal mulanya adalah seorang anak yang tak henti bertanya tentang apa yang ada di atas langit. Seorang musisi awal mulanya adalah seorang anak yang begitu antusias dengan ketukan dan komposisi bunyi. Dalam perspektif filsuf jawa Ki Ageng Suryomentaram, hal ini kerap disebut “kondo takon” yang berarti: bicara- bertanya.

Yang harus dilakukan orang dewasa sebagai pengajar, pendidik dan orangtua adalah membuat anak terus menerus bertanya. Makin kaya pertanyaan seorang anak, semakin luas pula pengetahuannya. Maka jika seorang guru ogah benar ditanya muridnya, sebaiknya ia segera memikirkan profesi lain. Jika seorang ayah atau ibu mulai berhenti mendengar pertanyaan putra-putrinya, semakin jauh mereka dari pengetahuan akan bakat anak yang sesungguhnya.

Menjadi Diri Sendiri

Banyak generasi saya yang tumbuh dalam bayang-bayang obsesi orangtuanya. Seorang anak berbakat musik diharuskan orangtuanya mengambil jurusan ekonomi, seorang anak berbakat menggambar wajib kuliah kedokteran, dan sebagainya. Dengan dalih minat anak tidak memiliki masa depan.

Memerdekakan anak dengan cara belajar yang ‘berbeda’ ini kerap menuai pertanyaan. Pertanyaan yang paling kerap muncul adalah: bagaimana jika anak-anak harus melanjutkan ke sekolah formal, apakah mereka mampu bersaing? Persaingan bukanlah ketakutan kami. Jika anak-anak telah terbekali dengan karakter baik dan kemampuan bertenggang rasa, maka satu-satunya hal yang perlu dikhawatirkan adalah: Apakah dia mampu menjadi dirinya sendiri?

Menjadi diri sendiri tampaknya juga menjadi tantangan besar bangsa kita. Perkembangan cara belajar di negara lain yang makin mutakhir kerap membuat kita kagum berlebihan. Mulai dari Waldorf, Montessori, hingga cara belajar di Finlandia. Dengan latah yang setengah-setengah, bangsa kita berbondong-bondong adu cepat memborong. Ingatkah bahwa negeri kita memiliki pemikir kaya macam Ki Hajar Dewantara, Ki Ageng Suryomentaram dan Tan Malaka? Jika sudah ingat, maka mampukah kita menjadi diri kita sendiri?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *