Blog

SALAM: MENDIDIK DARI RUMAH

Saya mengenal nama Sanggar Anak Alam (SALAM) pertama kali dari website salamyogyakarta.com dan ngintip di akun Facebook SALAM. Setelah bulan-bulan penuh stalking, akhirnya saya mencari kesempatan berkunjung ke SALAM. Saya masih ingat, beserta suami dan anak, kami datang ke sana memakai kemeja rapi. Kami semua memakai sepatu, termasuk anak saya. Sepatu yang pada kunjungan pertama itu, membawa kaki terperosok ke sawah. Warna pink pada sepatunya berubah menjadi warna coklat lumpur. Itulah kejutan pertama yang kami temukan di Sanggar Anak Alam (SALAM)—Kami datang sekitar pukul sepuluh pagi—memang bukan saat istirahat, tapi ada banyak anak-anak sedang bermain di halaman sekolah. Ada yang bermain bola, ada yang mengobrol berkelompok, ada yang berdiri di pinggir selokan. Semuanya memakai baju bebas, ada yang memakai alas kaki ada yang tidak. Kelak baru kuketahui, mereka yang kupikir sedang bermain itu sebenarnya sedang belajar.

Kami lalu mencari pak guru untuk menanyakan tentang prosedur pendaftaran dan semacamnya. Para guru biasanya paling mudah dicari di ruang guru. Ada banyak ruangan di SALAM, tapi tidak terlihat tanda-tanda ruang yang memiliki papan keterangan atau menyerupai ruang guru, ruang kepala sekolah, ataupun ruang TU. Saya lalu mencari sosok yang terlihat seperti guru. Ada banyak orang dewasa baik di dalam maupun di luar ruangan. Tapi bagaimana membedakan yang mana guru dan mana yang bukan? Kesemuanya sama-sama mengenakan baju bebas, rata-rata kaos dan tampak akrab dengan anak-anak. Kelak baru kuketahui, di SALAM tidak ada guru, melainkan fasilitator. Dan mereka ini, sama seperti warga SALAM yang lain, bebas mengenakan baju apapun yang dirasa nyaman.

Demikianlah, kejutan demi kejutan mewarnai pengalaman kami berkenalan dengan SALAM. Bahkan hingga hari ini, 5 tahun sejak awal perkenalan itu, saya masih menemukan kejutan-kejutan lain di sini.

Minggu  lalu, beberapa kelas di SALAM mengadakan kemping bersama akhir semester. Kami dan beberapa keluarga menginap dua malam di sana. Kegiatan utama selain masak, makan dan mapungi bocah sebagian besar waktu kami habiskan untuk ngobrol. Kami sedikit membicarakan anak-anak, sekolahnya, saling bertanya dan memberi jawaban dari kesulitan-kesulitan pengasuhan. Sebagian besarnya kami habiskan dengan lagu-lagu apa saja yang kunci gitarnya mudah dilagukan dan kemana lagi tujuan piknik kami berikutnya.

Baik di tempat kemping, maupun di sekolah, begitulah warna sebagian besar pembicaraan kami sesama orangtua. Saya tidak akan membantah kalau perbincangan kami terlihat tidak bermutu, sebab hanya hal-hal keseharian saja yang kami bincangkan. Bagi saya, persis seperti itulah SALAM di mata orang tua, akrab seperti hal-hal biasa yang terjadi sehari-hari. Bahkan, mampu menampilkan keseharian diri kita di tempat yang bahkan bukan rumah kita sendiri sesungguhnya menunjukkan adanya rasa nyaman dan aman sehingga kita berani untuk menampilkan diri kita apa adanya.

Senin, 20 Juni kemarin, SALAM tepat berusia 22 tahun. Ulang tahunnya dirayakan dengan mengadakan diskusi bersama seluruh warga SALAM. Diskusi dipantik oleh Pak Toto Rahardjo bersama Bu Sri Wahyaningsih dan dimoderatori oleh Pak Gemak.

Dalam diskusi tersebut, Pak Gemak menggambarkan hubungan SALAM dan orang tua bukanlah hubungan mekanis layaknya mesin industri, melainkan hubungan personal layaknya antarmanusia. Lebih dari itu, ada perasaan diuwongke di dalamnya. Perasaan diterima sebagai individu apa adanya, bukan sebagai individu yang harus berperan sebagai lakon-lakon tertentu. Barangkali, iklim nguwongke liyan ini mula-mula dicontohkan oleh para pendiri SALAM dan berhasil dihidupkan dengan baik oleh seluruh warga SALAM. Sebuah iklim yang tidak selalu bisa kita temukan di komunitas, bahkan mungkin semakin sulit kita temukan di dalam individu-individu.

Salah satu cara SALAM dalam nguwongke liyan adalah dengan menggunakan sistem potluck dalam beberapa kegiatan sekolah. Sederhananya, potluck adalah sistem patungan makanan. Setiap keluarga yang datang dalam suatu kegiatan, membawa beberapa jajanan/makanan dari rumahnya, bisa berupa hasil kebun, bisa berupa olahan sendiri. Jajanan ini kemudian dikumpulkan dengan jajanan dari keluarga-keluarga lain lalu dinikmati bersama. Membawa potluck seperti membawa sebagian dari diri kita, untuk berbaur dengan diri-diri yang lain.

Cara ini, menurut Bu Wahya adalah bentuk mendidik dari rumah. Karena, menurut bu Wahya, pendidikan sejatinya berasal dari rumah. Itu pula yang membuat SALAM menamakan diri sebagai sekolah keluarga. Dengan menggunakan sistem potluck, setiap keluarga dipersilakan untuk menghidangkan makanan yang biasa dimakan di rumah, makanan yang berasal dari kebun sendiri, menanamkan kebiasaan masak di rumah dan mengurangi konsumsi makanan pabrikan. Maka jangan heran, jika Anda datang ke salah satu kegiatan di SALAM, Anda bisa saja menemukan arem-arem bersanding dengan brownies, mendoan bersanding dengan sesame chicken salad. Barangkali inilah yang ingin disampaikan oleh para jajanan itu: kami beragam dan bersanding tanpa menghakimi siapa yang paling enak.

Benar, SALAM adalah komunitas dengan ekosistem yang beragam. Nguwongke liyan jadi salah satu cara merawat keragaman agar yang beragam itu bisa tetap memeluk keragamannya dengan baik, sehingga ekosistem SALAM yang beragam tetap terjaga dan menjadi rumah yang aman bagi seluruh warganya.

Cita-cita SALAM untuk menjadi rumah juga disampaikan Pak Toto Rahardjo. Dalam visi jangka panjangnya, Pak Toto ingin SALAM menjadi rumah tempat bertukar pikiran bagi orang-orang yang menyelenggarakan pendidikannya secara mandiri dari rumah: “Jadi,nantinya, SALAM akan jadi tempat berkumpul saja, bertukar pikiran,” kata Pak Toto.

Dengan visi yang demikian, bisa dipahami apa yang dibangun SALAM selama ini adalah ruh dan keyakinan akan jalan pendidikan yang mungkin berbeda dari orang kebanyakan. Gedung adalah sarana, dan ijazah adalah alat. Begitulah SALAM memandang dua hal yang sering dijadikan acuan banyak orang ketika membicarakan pendidikan. Jalan yang dipilih SALAM memang berbeda, sunyi dan malah mungkin masih berupa tanah belukar. Tapi bukankah kita ‘dilakoni karo mlaku (we make the road by walking)’?

Selamat Ulang Tahun, Sanggar Anak Alam. Terimakasih dan tetaplah jadi rumah bertumbuh bagi banyak orang.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *