Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, setiap buku adalah ilmu.
Roem Topatimasang (Penulis Sekolah Itu Candu)
SALAM melanjutkan perayaan hasil panen siswanya dengan mengundang empat profesor hebat dalam dunia anak untuk membedah buku “Friska dan Sekolah Barunya”. Empat profesor hebat tersebut adalah Jalu yang usianya 8 tahun, Kali, 8 tahun, Sandhi, usianya juga 8 tahun dan Izza yang usianya 10 tahun. Sebelum ini saya membaca unggahan Pak Toto di media sosial, beliau sedang menunggu kesediaan keempat anak tersebut untuk membedah novel ini. Dalam hati saya, “Apa mau yaa anak-anak ini…”. Saya bukan sangsi pada kemampuan mereka membedah buku anak, wong mereka anak-anak, ya jelas mereka bisa membedah sesuatu yang berasal atau terkait dengan dunianya. Tetapi saya memikirkan soal kepercayaan diri mereka, apakah mereka berani ya…. Eh, ndak berapa lama, saya sudah melihat poster acara ini dari Instagram SALAM. Saya senang sekali, sekaligus kagum dengan kepercayaan diri keempat profesor ini. Mereka adalah pembelajar yang berani.
Dalam acara “Celoteh Buku” kemarin, anak-anak ditanya perihal banyaknya waktu yang dihabiskan untuk membaca buku “Friska dan Sekolah Barunya” sampai selesai. Kali mampu menyelesaikannya dalam 2 hari, Izza 2-3 jam, Jalu 4 hari dan Sandhi menyelesaikannya dalam waktu 3-4 jam (dan katanya diselingi makan dan mandi he he he). Astaga! Membaca sebuah novel setebal 156 halaman dalam waktu yang sesingkat ini!? Hal berkonsentrasi bagi anak-anak adalah hal yang sulit lhoo… Biasanya, anak-anak seusia mereka masih sering terdistraksi dengan hal-hal di luar dirinya, untuk itu, buku cerita berbentuk novel jarang digemari oleh anak-anak. Saya coba menerka-nerka, kok bisa… Ketika saya semakin jauh tenggelam dalam atmosfer percakapan yang sangat menyenangkan itu, saya mendapatkan jawabannya.
Esther Meynell, seorang penulis dari Inggris pernah mengatakan, “Buku, bagi seorang anak yang membaca, lebih dari sekadar buku. Tetapi, ia merupakan impian sekaligus pengetahuan, dan masa depan sekaligus masa silam.”
Ya, itulah yang juga saya temukan melalui jawaban-jawaban keempat profesor ini perihal bagian yang paling mereka sukai. Kali menyukai cerita tentang kucing pada bagian awal buku, sebab Kali adalah pecinta kucing dan juga cerita soal Friska yang naik kereta, karena Kali pernah naik kereta dari Jogja menuju Jakarta. Lain halnya dengan Izza, ia menyukai cerita ketika Friska pertama kali pergi ke SALAM, katanya sih… mengingatkan Izza saat sekolah di SALAM sebelum pandemi. Kalau Jalu, paling suka bagian Friska pergi mini-trip. “Karna jadi inget dulu pas Jalu mini-trip”, kata Jalu. Eh.. Jalu juga suka salah satu bab yang berjudul, “Sikap yang Berbeda”, kata Jalu lucu. Lalu, kalau Sandhi paling suka bagian riset (walaupun kata Sandhi, seluruh bagian novel itu seru sih), karena mengingatkannya ketika ia melakukan riset pertamanya di kelas 2 SD.
Jawaban mereka memang berbeda-beda, namun saya melihat suatu pola yang sama, yakni, mereka memiliki sebuah memori pengalaman di masa silam yang terekam dalam ingatannya dan akhirnya memori tersebut diputar kembali ketika membaca cerita tersebut. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Tentu, karena apa yang mereka baca serupa atau mirip dengan apa yang pernah mereka alami sendiri di masa silam. Cerita yang ditulis oleh Imung ini ternyata begitu dekat dengan kehidupan mereka, sehingga mereka dengan asyik membacanya. Karena kedekatan inilah, anak-anak mampu membaca buku tersebut sampai habis, dalam waktu yang begitu singkat. Bahkan, mereka dengan sukarela mau mengulang-ulang pembacaannya. Buku “Friska dan Sekolah Barunya” selain sarat akan nilai-nilai karakter yang baik, ternyata juga kontekstual bagi pembacanya, yakni anak-anak.
Hmmm… dalam acara sore kemarin, saya dapat melihat antusias, keceriaan dan keasyikan keempat profesor ini ketika membahas buku “Friska dan Sekolah Barunya”. Dari atmosfer yang saya rasakan ini, saya dapat melihat bahwa imajinasi mereka sangat terbangun ketika membaca buku tersebut. Bahkan, kata Izza, ia seperti sedang berada di tempat-tempat yang disebutkan dalam novel tersebut. Terbangunnya imajinasi anak dalam proses membaca buku dapat meningkatkan daya kreativitas anak. Oh ya… buku “Friska dan Sekolah Barunya”, menurut saya sangat menunjang terjadinya proses imajinasi tersebut. Kalau menurut kumpulan pengalaman, saya hampir selalu menemukan buku cerita anak untuk usia 6-12 tahun itu masih dipenuhi dengan gambar berwarna, bukan dengan tulisan. Gambar berwarna sesekali baik sebagai sarana untuk memperkenalkan sesuatu. Namun, proses imajinasi anak akan lebih terbangun lewat tulisan atau gambar monokrom. Sebab, tulisan dan gambar monokrom tidak membatasi ruang imajinasi mereka. Misalnya, “daun”, bila dimajinasikan oleh anak-anak, daun bisa jadi ragam bentuk dan warnanya, yang bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Satu hal lagi yang begitu menarik dan mengejutkan bagi saya. Izza bercerita kalau Izza sudah pernah membaca beberapa novel anak, di antaranya, buku “Friska dan Sekolah Barunya”, “Totto-Chan”, dan “Mathilda”. Dan ketika ditanya buku mana yang paling ia sukai, ia memilih buku “Friska dan Sekolah Barunya”, karena buku tersebut menurut Izza, paling mirip dengan apa yang Izza pernah alami. Hal ini semakin meyakinkan saya, bahwa kedekatan antara ilmu dengan konteks yang dihidupi anak-anak begitu penting. Izza kemudian ditanya apa persamaan dari ketiga novel di atas, selain tokohnya yang sama-sama perempuan. Izza menjawab, ketiga tokohnya sama-sama ceria dan sama-sama bercerita soal sekolah. Kemampuan Izza melihat pola dan membuat persamaan barangkali adalah hasil dari melakukan banyak riset di SALAM.
Bedah buku yang dilakukan oleh empat profesor hebat dalam dunia anak ini menunjukkan kepada kita kemampuan yang seringkali kita abaikan. Anak-anak adalah pakar soal imajinasi, soal menangkap dan mengingat peristiwa dan soal bermain.
Sejatinya, anak-anak adalah profesor paling hebat yang paling mengerti seluk-beluk dunia anak.
Mahasiswi Theologia Universitas Duta Wacana
Leave a Reply