Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(Paman Doblang – W.S Rendra)
Setelah saya tanya-tanya kepada seseorang yang benar-benar mengagumi pendiri Bengkel Teater itu, saya agak yakin untuk memakai puisi di atas sebagai pembuka tulisan ini… Oiya, istilah panen ilmu pengetahuan ini terinspirasi dari status media sosialnya Pak Toto he he he…
Hari Jumat tanggal 3 September kemarin, SALAM mengadakan acara bedah buku (dibaca : pesta raya hasil panen ilmu pengetahuan) karya dua siswi SALAM yang baru saja lulus SMA. Namanya, Imung dan Rachel. Imung adalah seorang penulis sejak ia masih duduk di bangku SD (khususnya di SALAM) dan Rachel adalah seorang ilustrator, sejak ia masih berusia 2 tahun. Tahun ini, bertepatan dengan tahun kelulusannya, mereka berhasil menerbitkan sebuah novel anak yang berjudul “Friska dan Sekolah Barunya”, yang diterbitkan oleh penerbit Lingkarantarnusa.
Dalam pesta raya kemarin, Imung ditanya perihal latar belakangnya menulis novel anak tersebut. Jawaban pertama dari Imung berhasil membuat saya mbrebes mili. “Karena aku sendiri sudah ada di SALAM sejak kelas 3 SD, aku pingin ketika lulus nanti bisa ngasih kenang-kenangan buat SALAM.”, begitu katanya. Bagaimana mungkin seorang siswi begitu mencintai tempat ia belajar, sampai-sampai menjadi salah satu alasannya untuk berkarya? Bagaimana bisa? Ketika Imung bercerita lebih jauh, saya jadi tahu mengapa. SALAM membantu dan menjadi teman Imung dalam perjalanan menuju sebuah kesadaran akan warna dirinya. Siapakah Imung dan potensi apa yang sebenarnya ada dalam diri seorang Imung? Itulah pertanyaan yang jawabannya berhasil dirangkai oleh Imung selama belajar di SALAM. Katanya, Imung menyadari potensinya ini, karena fasilitator di SALAM sering meminta siswa SALAM untuk menuliskan pengalaman belajar mereka. Dan, ternyata hasil tulisan Imung selalu jauh lebih panjang dibanding siswa yang lain. Dari segudang pengalaman itulah, Imung akhirnya merengkuh sebuah kesadaran bahwa ia berbakat untuk menjadi seorang penulis. Kesadaran adalah matahari.
Dalam percakapan selanjutnya, saya dibawa semakin jauh dalam ekosistem belajar yang dibangun oleh SALAM. Mereka kemudian ditanya bagaimana prosesnya sampai akhirnya mereka dapat berkolaborasi? Sudah sejak lama Imung memperhatikan kecintaan Rachel dalam hal menggambar, inilah yang membuat Imung kemudian mengajak Rachel untuk membuat ilustrasi dari cerita yang dibuat Imung. Apa yang dilakukan Imung adalah salah satu bentuk riset terhadap lingkungannya, Imung mengamati potensi Rachel dalam menggambar. Tidak berhenti sampai disitu, Imung juga mengembangkan risetnya dan akhirnya menciptakan sebuah hal baru, yakni, sebuah kolaborasi antara seorang penulis cerita anak dengan seorang ilustrator. Keberanian menjadi cakrawala.
Kemudian, Rachel pun ditanya perihal bagaimana dirinya menyesuaikan ilustrasinya dengan keinginan Imung sebagai penulis cerita, Rachel bercerita bahwa ia terlebih dahulu bertanya kepada Imung gambaran ilustrasi yang diinginkan Imung dan bahkan meminta Imung untuk menggambar secara sederhana. Lagi-lagi saya kagum dan heran, kok bisa ya anak SMA berkolaborasi sedemikian indahnya? Wong orang dewasa saja kalau disuruh bekerja sama masih suka sak senenge dewe. Dalam cerita-cerita Rachel selanjutnyalah saya menemukan jawabannya, bahwa Rachel menyadari dirinya memang lebih pendiam ketimbang Imung, untuk itu Rachel perlu Imung untuk banyak mengungkapkan gagasan perihal ilustrasi novelnya. Hal tersebut hanya bisa dipahami karena Rachel sudah menemukan warna dirinya sendiri, mungkin juga termasuk menerima kelebihan dan kekurangan dirinya.
Kayaknya, selain pendidikan tidak boleh membuat kita asing dengan tanah di mana kita makan dan bermain, pendidikan juga seharusnya tidak membuat kita terasing dari diri kita sendiri. Justru seharusnya membantu kita menemukan warna diri kita. Ya… sepertinya dengan cara itulah kita mampu membangun sebuah interaksi sosial seperti yang Rachel dan Imung lakukan. Bukan persaingan tapi kolaborasi.
Adalah suatu proses dan perjalanan yang amat panjang bagi Imung dan Rachel, dengan bumbu-bumbu sedap rasa, mulai dari perubahan judul, proses ilustrasi, dan sampai akhirnya buku ini bisa terbit. Kesabaran adalah bumi. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Hmmm… ok sekarang mari kita bahas lebih jauh mengenai buku “Friska dan Sekolah Barunya”. Dalam pesta raya kemarin, hadir juga Ibu Dian Nofitasari, seorang penulis buku anak dan Mas Jony Eko Yulianto, seorang dosen psikologi sosial. Ibu Dian memberikan apresiasi atas pilihan Imung untuk menulis buku anak, sebab, menulis buku anak bukan perkara mudah dan mungkin tidak menarik bagi kebanyakan remaja seusia Imung. Dan bagaimana Imung mampu menggambarkan situasi dengan begitu detail, sehingga anak akan mudah membayangkan dan mengerti ceritanya. Saya sangat setuju dengan hal ini, sebab dalam teori Piaget mengenai perkembangan kognitif, anak-anak usia 0-11 tahun belum mampu memproses hal-hal abstrak, sehingga detail-detail kecil yang mungkin sederhana bagi kita, itu sangat diperlukan dalam cerita anak agar ceritanya terasa nyata dan hidup bagi anak.
Kemudian, Mas Jony juga memberikan banyak sekali tanggapan terhadap buku “Friska dan Sekolah Barunya”. Dari pembacaan Mas Jony, beliau menyimpulkan bahwa buku ini begitu kaya dengan nilai-nilai yang baik dalam pendidikan anak, meskipun kalau kita baca bukunya, peristiwa yang dipilih oleh Imung adalah peristiwa-peristiwa sepele yang kita temukan dalam keseharian kita. Tetapi, bukankah pendidikan memang seharusnya begitu? Pendidikan harus bermakna bagi kehidupan anak. Versi lengkap analisis dari Mas Jony juga bisa dibaca di website SALAM yaaa…
Selamat ya, Imung dan Rachel!
Dengan senang hati menunggu masa panen ilmu pengetahuan di SALAM lagii!
Mahasiswi Theologia Universitas Duta Wacana
Leave a Reply