Refleksi tentang Wajah Pendidikan di MasaDepan | “Sekolah Itu Candu” karya Roem Topatimasang. Masihkah sekolah dibutuhkan dimasa depan? Padahal sejarah sekolah adalah untuk mengisi waktu luang (skhole), namun dalam perjalanannya semakin menguat rigiditas yang bersitegang dengan fleksibilitas/kebebasan, sekolah menjadi sarana “reproduksi” ideologi dan tatanan sosial yang dominan hingga menjadikan lembaga sekolah “dikeramatkan”. Bersekolah menjadi kewajiban dan pekerjaan utama anak.
Pada masa sebelum dan awal kemerdekaan, sekolah didirikan para tokoh berbasis idealisme dan gotongroyong (komunal)–lalu di era Orde Baru, komersialisasi pendidikan menguat seiring pertumbuhan kelas menengah Indonesia, muncul mitos “sekolah mahal = sekolah bagus”, relasi sekolah dan orangtua seperti penjual dan pembeli di warung. Sekolah menjadi locus pertarungan, kapital vs non kapital, relawan vs berbayar, idealis vs realistis. Solusi memadai seharusnya secara struktural (dari Negara),dengan resiko ekses intervensi.
Sekolah formal seperti pabrik yang memproduksi manusia-manusia seragam menjadi pendukung utama globalisasi dan modernisasi, Jakarta-sentris. Sekolah formal mencerabut anak-anak dari komunitas kultural lokalnya, dikondisikan menjadikonsumen, cita-cita jadi petani dan nelayan ditertawakan. Era Reformasi, tidak ada perbaikan berarti dalam kontekstualisasi sekolah formal dan penumbuhan sikap kritis. Sekolah belum memampukan masyarakat di tataran akar rumput menghadapi tantangan/ancaman riil globalisasi.
Pendidikan hakikatnya adalah public goods, bukan komoditas, tapi realitasnya menjadi alat politik+ dikomersialisasi. Selama ini banyak terjadi coba ralat kebijakan pendidikan, termasuk perubahan kurikulum, yang mahal tapi tidak berdampak.Pola interaksi pemerintah masa kini dengan masyarakat sipil menunjukkan tersentralisasi dan belum serius menumbuhkan inovasi dari bawah(kontekstual).
Apa yang masih bisa dikerjakan oleh pegiat pendidikan alternatif? Bagaimana menyadarkan pembuat kebijakan atas kelemahan paradigmanya?
“Upaya pembaharuan sistem pendidikan nasional di Indonesia terus berputar-putar di sekitar permasalahan itu-itu juga, bukan mempertanyakan kembali secara kritis hakikat eksistensi sekolah itu. sendiri. Dengan kata lain, upaya pembaharuan itu cuma berpusing-pusing membongkar-pasang gejala permukaan dari sistem pendidikan (baca: sekolah), bukan inti permasalahan yang sebenarnya. Apa yang terjadi bukanlah inovasi yang sesungguhnya, tetapi proses ‘involusi’. Ada semacam ‘keengganan ideologis ’campur‘ kemalasan intelektual ’dan‘ kebanggaan semu budaya untuk mengubah kemapanan batasan-batasan baku yang sudah ada. Menembus kemacetan suatu proses Involutif semacam itu memang membutuhkan suatu evolusi, atau, jika perlu, revolusisi sikap dan pemikiran.”
Posisi dominan sekolah formal akan bertahan selama segala parameternya masih diyakini masyarakat sebagai syarat “survival” (cari nafkah) dan penentu posisi seseorang dalam hirarki sosial.
Untuk menggantikan sekolah, pendidikan alternatif harus menawarkan parameter pengganti yang bisa memberi nilai tambah dari yang lama. Harus ada para pionir yang melakukan aneka eksperimen sampai terbangun parameter dan opsi alternatif yang akhirnya diadopsi oleh jumlah minimal populasi sebagai syarat terobosan.
“Sekolah memang telah terinternalisasi sedemikian rupa dalam seluruh bagian keseharian kita, melalui suatu proses sejarah yang panjang dan lama, yang sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan perseorangan dan perkauman kita, menjadi suatu imperatif budaya, semacam gejala ‘ketaksadaran kolektif’, sehingga setiap orang merasa kehilangan sesuatu yang teramat sangat berharga…jika ia gagal atau [putus sekolah].
Jadi, sekolah jualah yang benar dan kuasa, tak pernah salah dan tak pernah kalah.
Sekolah memang telah menjadi candu!”
SelamatTinggal, Sekolah!
- Dasa warsa 1960 & 1970-an, sistem dan mutu pendidikan Indonesia masih menjadi rujukan negara-negara jiran, kini keadaan berbalik.
- Masalahnya terutama bukan pada ketersediaan biaya, tapi lebih pada pengelolaan dan kebijakan peruntukan biayaàperilaku korupsi di kalangan politisi dan birokrat yang berlebihanàIndonesia terus tercatat sebagai salah negara paling korup di dunia.
- Dalam dunia pendidikan, ada tren anak-anak muda mencari “jalan pintas” menuju kekayaan dan ketenaran dengan mengikuti aneka kontes di stasiun-stasiunTV, jadi youtuber, Selebgram àtidak perlu lagi sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi pesohor yang kaya raya dan selalu diliput media massa (tohmedia massa tidak terlalu memperhatikan anak-anak muda yang berprestasi secara akademis)
Apa sebetulnya makna sekolah?
- Gene Bylinsky: sekolah mesti jadi oasis, tempat orang memuaskan dahaga keingintahuan, mewujudkan utopia dan imajinasi kekaryaan
- James Hirsch: tempat elitis dan eksklusif untuk mencetak kader terpilih di masa depan bagi kesejahteraan seluruh umat manusiaàantitesis pendidikan massal
- Clark Kerr: sekolah adalah rancangan cetak biru masyarakat masa depan, suatu model yang berpadu langsung dengan kerangka besar sistem kemasyarakatan dalam kekinian.
- Maria Montessori, Friederich Frobel, Jean Piaget, Ki Hadjar Dewantara: sekolah adalah tamanàlembaga pendidikan formal
- Julius KambarageNyerere: sekolah adalah kebun dalam arti sesungguhnyaanak belajar langsung di kebun/dunia nyata
- Adam Smith: sekolah adalah pasar, sekrup dari roda mesin raksasa ekonomiàsekolah adalah pabrik/perusahaan pengolah.
“Begitu banyak orang yang bicara tentang sekolah, bahkan juga sepenuh keyakinan membela keberadaannya, tetapi ternyata begitu banyak pula perbedaan ragam pengertiannya yang tak bisa disimpulkan secara gampangan: mana yang paling benar dan absah? Ini menandakan bahwa lembaga sekolah secara substansial hanya bisa dipahami dalam kerangka kontekstualnya. Jika ini tak dipahami secara bijak dan arif, kita akan cenderung terjebak dalam suatu pemutlakan pengertian yang dipaksa-paksakan berlaku semesta.
Padahal bukankah sekolah tidak perlu memiliki ukuran serba pasti dan serba mujarab untuk semua keadaan, waktu, dan ruang yang memang salingberbeda?” []
Ibu tiga anak homeschooler, penulis buku “Cinta Yang Berpikir”, berdomisili di Semarang.
Leave a Reply