Bagaimana mengubah kecenderungan umum kegiatan pendidikan yang selama ini cenderung menghasilkan manusia kujana (pintar, terampil, tetapi miskin moral alias durjana) menjadi sujana (pintar, terampil, sekaligus arif-bijaksana)?
Itulah pertanyaan mendasar yang muncul dalam diskusi terbatas “Menggugat Praksis Pendidikan” yang diselenggarakan Harian KOMPAS dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 1 Mei 2012 lalu.
“Ilmu pengetahuan dan keterampilan idealnya berpuncak membentuk manusia berwatak,” tulis St. Sularto dalam laporannya tentang diskusi itu. “Namun, yang terjadi sebaliknya. Praktik korupsi merajalela, ujian nasional perlu diawasi polisi, dan rasa keadilan masyarakat diabaikan.”
Yang paling “nendang” menurut saya adalah pernyataan praktisi dan pemerhati pendidikan Paul Suparno, SJ. Tanpa tedeng aling-aling beliau mengklaim, “Di Indonesia tidak ada filosofi pendidikan.” Pendapat itu ia keluarkan setelah menilik UU Sisdiknas yang tidak disertai penjelasan latar belakang pemikirannya (rationale). Masyarakat hanya disuruh menerima undang-undangnya, tanpa tahu mengapa undang-undang itu dirumuskan demikian.
Dari telaahnya, Suparno menyimpulkan bahwa mulai dari dokumen legal sampai praksisnya, pendidikan Indonesia didominasi oleh pragmatisme. Pragmatisme adalah suatu pendekatan berpikir yang tak memedulikan benar atau tidaknya visi, yang penting adalah ada tidaknya manfaat. Dalam hal ini, yang dijadikan patokan adalah manfaat dari segi politis dan praktis – manfaat bagi pihak penguasa dan manfaat bagi dunia industri serta pasar kerja.
Wajar saja jika pendekatan semacam ini lantas menekankan keterampilan kejuruan belaka dengan mengesampingkan pembangunan karakter siswa. Aspek kognitif didewa-dewakan. Aspek nilai dan kebudayaan dibuang, atau setidaknya didangkalkan (menjadi sekedar hafalan?). Cita-cita pendidikan “manusia seutuhnya” hanya ada di awang-awang.
Situasi ini persis seperti yang digambarkan Charlotte Mason dalam volume bukunya yang pertama: “berkabut dan muram, belum ada prinsip yang menyatukan, tujuan jelas belum dirumuskan, belum ada satu filosofi pendidikan, gonta-ganti cara, kegagalan, dan kekecewaan silih berganti yang menandai rekam jejak pendidikan kita”. Kita gelisah, tapi kita bingung harus memperbaiki dari mana. Ya, dari mana harus kita luruskan benang ruwet ini?
Tak bisa tidak, saran Charlotte. Kita harus lebih bersungguh-sungguh berupaya merumuskan filosofi pendidikan kita. “Sama seperti arus sungai tak akan lebih tinggi dari hulunya, upaya mendidik tidak akan bisa melampaui konsep pendidikan yang menjadi asal-usulnya.” (Home Education, hlm. i)
Merumuskan filosofi pendidikan itu adalah kerja yang sangat menantang. Kita punya banyak peneliti dan ilmuwan pendidikan, tetapi seberapa banyak dari mereka yang mumpuni sebagai filsuf? Filosofi tidak bisa dikerjakan dengan bahasa statistik atau program komputer. Filosofi selalu harus lahir dari pergulatan batin manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan hakiki – jenis pertanyaan yang mengandung hikmah di dalam dirinya sendiri, lepas dari sudah ditemukan atau belum jawabannya.
Dalam kegandrungan manusia modern pada sains, bermilyar-milyar rupiah digelontorkan untuk melakukan berbagai penelitian empiris tentang pendidikan. Tetapi seberapa serius kita mendukung orang-orang yang mau berpikir secara filosofis? Padahal filosofi merupakan alat penting untuk memperjernih visi yang mau kita capai.
Tanpa filosofi pendidikan yang jelas, kita jadi seperti petani yang berupaya membajak sawah dengan mata terpaku kepada alat bajaknya, alih-alih ke titik imajiner di horizon sana yang seharusnya jadi patokannya untuk menghasilkan alur bajakan yang lurus.
Rendahnya minat baca, kreativitas, etos kerja, sampai budi pekerti dari lulusan sekolah-sekolah kita menunjukkan bahwa merendahkan cita-cita pendidikan seringkali membuat kita tak berhasil memperoleh bahkan target yang paling minim sekalipun. Anak-anak kita sedang – dalam bahasa Charlotte – mengalami ‘malnutrisi spiritual’ karena sekolah-sekolah mengabaikan aspek hakiki dari diri mereka, hanya berkonsentrasi mencetak mereka menjadi pekerja dan pencari nafkah tanpa mendidik karakter mereka menjadi luhur.
Kita perlu lebih dulu menunjuk tegas ke arah satu tujuan akhir, baru kita bisa merancang upaya untuk sampai ke sana. “Gagal menemukan filosofi yang menunjukkan tujuan dan cara mencapainya akan menghasilkan depresi, bahkan tindakan-tindakan gila. Kita mengutip adagium ini, motto itu, sepotong ide dari tempat lain lagi, menjadikannya satu koleksi carikan tambal sulam yang menyedihkan untuk menutupi ketelanjangan kita.” (A Philosophy of Education, hlm. 334)
Cara terbaik mendekati filsafat, kata Jostein Gaarder dalam novelnya Dunia Sophie, adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Kalau begitu, pertanyaan apa yang sebaiknya kita ajukan lebih dulu dalam upaya merumuskan filosofi pendidikan kita?
Saya mengutip satu alinea dari buku bagus David Hicks, Norms and Nobility(1999). Saya terjemahkan bebas demikian:
Pendidikan di setiap jenjangnya mencerminkan asumsi-asumsi dasar kita tentang hakikat manusia. Oleh karena itulah, tak satu sistem pendidikan pun yang bisa pura-pura bodoh dalam menyatakan sikap tentang apa itu manusia dan apa tujuan hidupnya.
Seorang pemikir pendidikan yang gagal menegaskan pandangannya mengenai manusia dengan sendirinya mengundang polemik berkepanjangan. Dia mungkin menyelubungi premis-premisnya untuk memikat para pembaca yang mudah diperdaya lewat keterampilan menyusun argumen yang seolah logis. Sesungguhnya, entah dia mau atau tidak mau, selalu ada asumsinya tentang hirarki nilai-nilai kemanusiaan. Keyakinannya tentang apa itu hakikat dan tujuan yang sepatutnya dikejar manusia akan menentukan resep yang ia rumuskan soal tujuan dan tugas pendidikan
Ingin memperbaiki situasi pendidikan Indonesia? Tariklah diri sejenak dari hiruk pikuk berbagai macam proyek, pelatihan, penelitian, dan segala macam kegiatan praksis. Mari kita renungkan bersama-sama pertanyaan-pertanyaan ini dan coba menjawabnya: “(Si)apa sih manusia Indonesia itu? Apa yang pantas menjadi tujuan hidupnya?”.
Ibu tiga anak homeschooler, penulis buku “Cinta Yang Berpikir”, berdomisili di Semarang.
Leave a Reply