Akhir tahun lalu, sebelum semester satu belum benar-benar berakhir, ada satu hal yang begitu menarik untuk direnungkan, yakni melihat senyum dan tawa bahagia di wajah anak-anak selama minggu presentasi berlangsung. Suasana presentasi yang awalnya terkesan menegangkan, ternyata ketika diikuti bersama menjadi suasana yang sangat menyenangkan. Ada begitu banyak cerita dari masing-masing anak tentang proses belajar mereka di rumah. Cerita keberhasilan maupun kegagalan riset mereka mendapat tempat di telinga dan di hati fasilitator, orang tua, dan teman-teman lainnya. Atensi peserta dengan memberikan pertanyaan, saran bahkan pujian adalah bukti bahwa mereka menikmati suasana presentasi meskipun dilakukan secara daring.
Masih menemukan keceriaan hingga akhir semester di tengah suasana belajar yang “katanya” tak optimal dan serba terbatas ini adalah satu hal yang patut disyukuri dan dipertahankan. Anak-anak mungkin sudah tak berkumpul di sekolah, menghabiskan waktu untuk bermain bola atau bermain kejar-kejaran. Tidak ada doa dan makan bersama. Tidak ada piket bersama. Tidak ada piknik dan minitrip. Tapi ternyata cara-cara belajar yang menyenangkan tetap tinggal dan berdiam dalam diri mereka. Semester dua ini, mereka tak lagi kesulitan beradaptasi dengan suasana BDR. Tentu saja, dengan riset mandiri yang dipilih sendiri sesuai minat dan kesukaan masih menjadi modal utama belajar yang menyenangkan.
“Semester besok aku mau lanjut bikin patung!” seru Zevo bersemangat sewaktu semester lalu saya berkunjung ke rumahnya. Ternyata ia sudah merencanakan kegiatan belajar di semester berikut. Berbeda dengan awal semester satu ketika Zevo masih kesulitan memilih tema riset. Saat ini Zevo sudah mulai mengenali minat serta kemampuannya, dan terlihat ingin menekuninya. Kabar terakhir, Zevo sudah berhasil membuat tiga buah patung berukuran 10-12 cm dengan karakter monster dan bajak laut.
Ada juga Nawang yang sudah mulai menemukan kesenangan untuk kegiatan di semester ini. Ia sedang senang belajar menjahit. Awal mulanya karena Mama mengajak belajar bersama tentang salah satu teknik menjahit dari sebuah video. Nawang ternyata ketagihan. Jahitan pertamanya membuat bantal kecil untuk tidur bonekanya, namun sekarang ia malah sudah bisa membuat bonekanya sendiri. Hal ini berbeda dengan awal semester satu ketika Nawang juga kesulitan menentukan tema risetnya.
“Ada beberapa boneka yang sudah ia buat sendiri dengan tangannya. Ia juga tidak lupa memberikan nama ke seluruh boneka buatannya.” cerita Edwin, mentornya Nawang.
“Kalau di kelompokku ada Bumi yang di semester ini jadi mengenali kemampuannya dalam memilih tema riset” Mbak Sabeth memulai ceritanya. Edwin dan Mbak Sabeth adalah rekan fasilitator di Sanggar Anak Alam. Semester ini kami bekerja sama mendamping proses belajar di kelas 2 SD.
“Jadi, di semester lalu Bumi memilih riset merawat mentok.” Mbak Sabeth melanjutkan ceritanya. “Bumi senang karena anak-anak mentok lucu dan menggemaskan. Namun, ternyata ketika mentok yang dirawatnya tumbuh besar, ia mulai kesulitan merawat karena mentok-mentoknya bergerak lebih agresif, dan itu membuat Bumi kesal. Dari kejadian ini, Bumi jadi memahami bahwa perlu adanya bayangan ke depan tentang tema riset yang mau dipilih.”
Teman-teman kecil mulai mengenali, menemukan, dan menikmati kesenangannya dalam menjalani proses BDR. Mereka tidak lagi bertanya, “Kapan belajar di sekolah lagi?” juga sudah tak mengeluh, “Bosan, belajar di rumah terus!” Bagaimanapun juga, saya pikir, suasana presentasi yang menyenangkan di akhir semester menjadi amunisi yang membuat mereka semangat untuk memulai riset baru lagi. Belajar dari kegagalan dan kekurangan di semester lalu, dan mempersiapkan diri dengan lebih baik. Hal ini terjadi tidak hanya pada anak, lho! Diam-diam, ternyata orang tua juga menikmati prosesnya. Benarkah?
“Orang tua anak-anak di kelompok yang kumentoring sudah mulai terbiasa.” Edwin berbagi cerita lagi. Kali ini dari orang tua. “Sebelumnya orang tua merasa susah, sekarang sedikit demi sedikit jadi bisa tahu bagaimana mendampingi anak karena sebelumnya terkesan mengajari banget. Sekarang beberapa orang tua jadi makin aktif mendampingi anak riset.”
“Kalau di kelompokku, orang tuanya mulai aktif kasih info kegiatan anak, dan mulai terbuka untuk cerita kesulitannya di rumah. Berbeda dengan semester satu, dulu masih ada seperti rasa sungkan menceritakan kendala yang dihadapi.” Mbak Sabeth ikut menambahkan ceritanya.
Senang rasanya menemukan semangat melanjutkan BDR dalam diri anak, terlebih dalam diri orang tua sebagai pendamping anak belajar. Suasana pandemi mungkin masih menemani proses belajar semester dua. Tapi, teman-teman kelas kecil sudah tak mengeluh. Mereka sudah bisa menikmati dan melanjutkan. Bagaimana tidak? Selain belajar, selalu lebih banyak waktu bermain setiap hari, dan itulah kegiatan yang paling disenangi sekaligus dibutuhkan oleh anak seusia mereka. Bermain pun tak melulu harus sendiri atau melulu harus di rumah. Terkadang mereka saling menjemput teman agar bisa bermain bersama-sama. Tak lupa, masker harus selalu terpasang. Kalau pun lupa, mereka akan saling mengingatkan lalu lanjut bermain. Di ruang tengah, di dapur, di beranda rumah, di kebun, di jalanan setapak, sekarang ini dan memang sudah seharusnya semua tempat adalah sekolah. ***
Fasilitator di Sanggar Anak Alam Yogyakarta
Leave a Reply