Sistem pendidikan yang berlangsung selama ini secara eksplisit lebih cenderung bersifat objektif, didasari konsepsi bahwa individu sejatinya adalah mahluk rasional. Maka proses belajar fokus pada pengetahuan objektif bukan pada subjektif learning—sehingga penekanan dalam metode pengajaran adalah menghafal informasi bukan pengembangan diri—padahal seharusnya merancang metodologi yang menempatkan individu dan pengalaman belajar siswa menjadi titik fokusnya. Maka kuncinya adalah mengubah arah sistem dari yang sebelumnya menggunakan pokok bahasan (mata pelajaran) statis nan seragam dimana pembelajar harus masuk menyesuaikan diri ke dalam menjadi sistem yang membawa ilmu ke dalam subyektivitas pembelajar beserta keunikan pengalaman cara belajarnya.
Paradigma reduksionis berdasar pada narasi tentang adanya dunia objektif yang dapat diketahui dimana terdapat hanya satu cara yang benar dan satu jawaban yang benar untuk melihat bagaimana dunia bekerja. Efek samping proses pendidikan dengan paradigma seperti itu adalah pendidikan hanyalah transfer pengetahuan kepada siswa—mempelajari tanpa mempertanyakannya lagi. Bagaimana inovasi bisa lahir dari generasi yang tidak terbiasa, memiliki tradisi mempertanyakan? Padahal hakekat belajar adalah proses subyektif individu (proses belajar tidak bisa lepas dari keunikan yang berbeda yang dimiliki setiap individu).
Maka penting untuk menilik ulang mengapa kita justru memilih pandangan objektif dalam pendidikan—di level pokok bahasan (mata pelajaran) misalnya, kita bisa menyaksikan dengan jelas karena sekolah sangat terbatas memberi ruang serta peluang pada diri subjektif siswa untuk fokus pada hal-hal yang terkait dengan matematika, teknik, bahasa dan sain. Ini pertanyaan tentang ketepatan keseimbangan; dengan fokus pada dimensi objektif dalam proses pengajaran, pada akhirnya justru menghilangkan esensi terpenting dari proses pendidikan itu sendiri yakni memupuk kemampuan individu untuk terus belajar, beradaptasi serta berinovasi karena kualitas itu berasal dari dimensi subjektif atas proses pendidikan. Menciptakan sistem yang memungkinkan setiap orang untuk dapat terus belajar adalah satu-satunya bentuk solusi yang memiliki kesempatan untuk berkelanjutan.
Pembelajaran Mandiri
Hal-hal apa saja yang membimbing dan mendorong ke arah mandiri?
- Siswa memegang kemudi pendidikan dirinya, dalam kerangka fleksibel agar mudah untuk beradaptasi
- Guru mulai bergerak menuju pemeranan di belakang layar dan menjadi figur yang memberdayakan
- Pendidikan yang didorong oleh rasa ingin tahu, adalah metode yang meletakkan pembelajar di kursi kemudi
- Memungkinkan mereka memiliki kontrol tujuan dan proses belajarnya, sehingga tumbuh kemampuan merancang dan menetapkan tujuan dan menarik apa saja menjadi sumber daya belajar yang diperlukan.
Peralihan dari pendidikan dengan paradigma objektif ke arah proses pendidikan berbasis pembelajar juga menyiratkan perpindahan dari model pengujian terstandart—ketika kita sudah mulai jenuh dengan ide bahwa hanya ada satu jawaban tunggal “Satu Model Murid Ideal” satu jalan yang paling dianggap benar, maka kita mulai sadar tidak masuk akal untuk mengetest semua orang dan meranking mereka dalam satu kreteria—test terstandart mengukur seberapa sesuai dan patuh seseorang tersebut kepada sistem, padahal yang kita butuhkan untuk menumbuhkan inovator justru sebaliknya. Kita tidak mau mereka malah terpenjara pada tubuh pengetahuan yang terstandart, kita perlu menilai mereka berdasarkan keunikan masing-masing pada kemampuan proses belajar mereka masing-masing. Karena kita tidak akan mencapai sistem berbasis pembelajar jika tanpa mengubah lokus ke individu-individu dan membangun sistem di sekeliling mereka.
Fokus primer dari pendidikan di era automasi seharusnya tentang bagaimana membuat seseorang untuk lebih manusiawi, artinya kita perlu mengatur ulang sistem sehingga lebih fokus pada pengalaman subjektif individual setiap orang daripada lebih kepada obkektivitas sistem pendidikan.
Informal
Di bawah pengaruh sistem sosio ekonomi modern, pendidikan telah menjadi modal industri serupa sama sebangun dengan industri yang lain. Tunduk pada pada rasionalisasi dan standarisasi yang sama. Kita cenderung berfikir bahwa pendidikan adalah model linier, yang dipersempit hanya pada bagaimana nanti mereka ditempatkan di lingkungan kerja—dengan hanya fokus pada lembaga formal beserta tata caranya, sistem pendidikan kita diam-diam menganaktirikan peristiwa besar yang bernama “Laku Belajar”. Hasilnya adalah meremehkan berbagai macam cara untuk memahami sesuatu, bahkan kemudian disimplifikasi menjadi satu cara untuk mengukur pengetahuan.
Ada satu pertanyaan mendasar terkait sistem pendidikan kita sekarang : “Apakah mendukung proses belajar, atau malah menghambatnya?”
Jawabannya tidaklah mudah ketika kita melibatkan seluruh bentuk pembelajaran termasuk yang tidak diperhitungkan dan kemudian terpinggirkan. Kita terlalu menghabiskan banyak waktu untuk fokus pada pendidikan formal di mana justru sebagian besar orang belajar dalam konteks informal. Banyak uang habis untuk urusan pendidikan formal ketika yang sesungguhnya diperlukan adalah sistem yang mendorong sumber daya untuk keluar menuju domain informal.
Kini lautan informasi pendidikan semakin meluas setiap hari, kita membutuhkan model yang bisa memanfaatkan semua content yang kini banyak dibuat. Dulu kita menghadapi persoalan dalam rangka mengukur pembelajaran informal, namun sekarang ini dengan adanya teknologi informasi hal tersebut bisa diatasi. Kita sudah bisa mengukur dan melacak bagaimana proses belajar berlangsung—maka membangun sistem yang terintegrasi dengan pembelajaran formal dan non formal sangat mungkin diwujudkan. []
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply