Saat menyusun Kami Tidak Seragam: Rekam Jejak Anak Salam September 2016 silam, yang terbersit dalam pikiran saya ada waktu itu adalah, “Ini harus didokumentasikan!” Semester itu adalah semester pertama Sanggar Anak Alam (SALAM) memberlakukan riset mandiri sebagai sebuah metode belajar baru. Sebelumnya, setiap kelas memilih sebuah tema untuk riset bersama.
Buku itu disusun sebelum semester benar-benar usai, sehingga konten buku masih ‘setengah matang’. Selain itu seluruh warga belajar, baik fasilitator, anak maupun orang tua masih meraba-raba, bagaimana riset seorang anak dapat menjadi sumber pengetahuan anak-anak yang lain. Sehingga ketika seorang pembaca bertanya pada saya, “Ini belum sampai tahap analisis ya, Mbak?” saya hanya bisa mengangguk pelan. Itu sebabnya saya tidak pernah setuju ketika Pak Toto maupun Bu Wahya meminta untuk menerbitkan ulang buku itu, walaupun dalam versi cetak satu warna sekalipun agar harga buku lebih terjangkau.
Banyak tahun berlalu. Kemudian Corona menyerang. Setelah dipenuhi kecemasan selama berbulan-bulan, saya sampai pada satu kesadaran, “Oke, jika memang benar-benar umat manusia terancam kepunahan, apa yang bisa saya lakukan sambil tetap di rumah saja?” Seperti layaknya manusia yang hidup di masa milenial, saya memcoba mencari jawabannya di media sosial. Saat itu, bahkan mungkin sampai hari ini, media sosial gaduh sekali berisi suka duka teman-teman sebaya tentang pembelajaran daring putra-putri mereka di masa pandemi.
Sebagian dari mereka tampak menikmati, sebagian lagi mengeluh, sebagian juga mengecam pemerintah yang mempersilahkan sekolah mengambil keputusan sendiri apakah KBM akan berlangsung daring atau tidak. Saya tidak pernah pusing dengan konsep ‘belajar dari rumah’, karena pembelajaran di kelas anak saya sangat fleksibel dan adaptif. Seberapa fleksibel? Seberapa adaptif? Lalu anak belajar apa? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap terlontar dari beberapa teman yang juga sedang mencari metode belajar terbaik bagi anak-anaknya.
Saat itulah kemudian lampu bohlam di kepala saya menyala. Kami Tidak Seragam harus terbit kembali dalam versi yang lebih utuh. Bohlam itu menyala tepat di bulan Juli 2020, setelah Tahun Ajaran 2019/2020 berakhir. Momentum yang sangat tepat, karena dokumentasi riset pasti masih tersimpan baik oleh teman-teman fasilitator. Setelah berkoordinasi singkat dengan Bu Wahya tentang rencana ini, saya segera membentuk tim, membagi tugas, dan membuat agenda kerja.
Tim ini kecil saja. Yang pertama saya gaet adalah Krido Bram, teman fasilitator yang juga berada di balik pengelolaan promo daring buku-buku SALAM. Selanjutnya Karunianingtyas sebagai penyunting data-data dokumentasi riset. Saya sendiri awalnya hanya ingin mengambil porsi sebagai penunjang kreatif promo buku. Tapi Mas Yuntarto, sesama orang tua murid SALAM yang jago me-layout buku sedang banyak orderan. Jadi saya nekat belajar software baru untuk menunjang pekerjaan tata letak buku. Di minggu ketiga, kami menggaet personil baru, Ubed, untuk menunjang penyelarasan akhir naskah.
Penyusunan Kami Tidak Seragam jilid 2 selesai dalam durasi 1 bulan. Selain kecepatan kerja yang berlangsung tanpa tatap muka, satu hal yang membuat saya bahagia adalah konten buku ini sendiri. Pertama, hampir semua jenjang, dari SD hingga SMA, terdokumentasikan utuh mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi. Selain itu, hampir semua fasilitator dari tiap kelas juga menyertakan singkat seputar kodifikasi hasil belajar. Kodifikasi, untuk sebuah buku yang banyak bercerita tentang bagaimana teknis tiap anak melaksanakan risetnya, menjadi bagian yang sangat penting. Buku ini menjadi tidak lagi sekedar hadir sebagai buku ‘How to’, melainkan juga sebuah buku refleksi belajar. Tiap riset anak dimaknai sebagai sumber-sumber pengetahuan bagi dirinya sendiri maupun teman-temannya. Idiom ‘belajar bisa dari mana saja’ menjadi relevan jika dianggap sebagai pesan utama Kami Tidak Seragam jilid 2.
Ketika akhirnya saya membaca keseluruhan isi buku, saya juga menangkap sebuah kritik tajam terhadap tertatihnya konsep sekolah konvensional beradaptasi dengan berbagai situasi, terutama situasi pandemi. Tidak sekedar kritik, buku ini juga menyajikan praksis dalam bentuk yang paling mudah dipahami karena ditulis oleh anak-anak. Jadi benar, buku ini terwujud karena seluruh warga belajar SALAM, terutama anak-anak SALAM, menulis.
Saya jadi teringat pembicaraan dengan anak saya, Jalu (8 tahun), beberapa minggu yang lalu saat kami sedang berjemur. Saat itu semester baru telah dimulai. Jalu sudah duduk di kelas 2 SD. Karena SALAM memutuskan bahwa semester ini KBM di sekolah belum dapat berlangsung seperti sediakala, fasilitator kelas, anak dan orang tua sepakat untuk memberlakukan riset mandiri untuk kelas SD kecil (1,2,3). Itu artinya tiap anak bebas memilih tema riset yang relevan dan dekat dengan kehidupannya. Jalu memilih tema riset ‘Memelihara Anjing’ karena kami baru saja memiliki anjing baru yang berusia 3 bulan.
Setelah 1-2 minggu melaksanakan riset, Jalu mengeluh. “Mah, aku tuh nggak suka riset soalnya harus nulis terus.”
“Ya kalau nggak ditulis artinya kamu tidak ‘riset memelihara anjing’ tapi cuma ‘memelihara anjing’.”
“Maksudnya?”
“Ingat nggak waktu mama bikin bakpau dulu? Karena cuma ‘bikin bakpau’, jadi mama cari resep di internet, tanpa mencatat resep, langsung bikin bakpau. Hasilnya enak. Tapi pas mama mau bikin lagi nggak punya catatan resepnya. Akhirnya mama pakai resep lain dan nggak berhasil. Nah, kalau waktu itu mama ‘riset bikin bakpau’, hal itu nggak akan terjadi, karena pasti resep sebelumnya sudah dicatat. Tinggal diganti saja isian bakpaunya kalau mau eksperimen. Itu pun sebaiknya juga dicatat.”
“Tapi aku tuh capek kalau nulis-nulis terus,” Jalu masih beralasan.
“Le, di masa pandemi seperti ini, anak-anak dianggap ‘sudah belajar’ kalau mereka duduk manis di depan laptop dan mendengarkan bu guru lewat Zoom. Anak-anak yang bermain layang-layang, bermain sama anjingnya, bermain di sawah, keceh di kali, dianggap tidak belajar. Hanya bermain. Itu sebabnya kamu harus menulis, supaya orang lain tahu bahwa saat kamu bermain, kamu juga belajar.”
“Tapi aku tuh belajar apa ya? Perasaan aku nggak belajar apa-apa..”
“Makanya, nulis. Nanti kalau kamu sudah menulis, lalu dibaca lagi. Saat itu pasti nanti kamu jadi tahu sudah belajar apa.”
Sebenarnya saya masih ingin melanjutkan dengan kutipan dari Mbah Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,” tapi saya pikir-pikir itu tidak perlu. Kopi sudah habis dan matahari mulai terik. Yang pasti, kutipan itu yang menggerakkan kami menerbitkan Kami Tidak Seragam Jilid 2. Agar setiap cara belajar anak-anak SALAM yang terlihat seperti bermain itu dapat termaknai, terdokumentasikan dan tidak hilang tertelan peradaban.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply