Pertanyaan Rere (Siswa XII) kepada Bu Wahya dan Pak Toto dalam siaran Live #20tahunSALAM menjadi pijakan yang menarik untuk melakukan refleksi. Pertanyaan Rere kira-kira begini “Jika Ibu dan Bapak sudah nggak ada, SALAM bagaimana?”
Pertanyaan serupa juga pernah terlintas dalam obrolan-obrolan ringan saya bersama fasi lain di kala senggang. Banyak fasi yang merasa itu bukan masalah besar, sebab mereka percaya, bahwa SALAM dibesarkan oleh komunitas, alih-alih individu. Meskipun ada pula yang masih merasa khawatir, mampukah SALAM sebagai lembaga tetap pada khittah-nya jika ditinggal generasi pertama?
Optimisme dan kekhawatiran ini sama-sama beralasan. Teman-teman yang optimis melihat, bahwa setiap warga belajar punya andil untuk menentukan jalannya SALAM. SALAM menjadi milik bersama. Mereka bukan karyawan yang dipekerjakan oleh SALAM untuk melaksanakan ide-ide pendirinya. Mereka adalah pemilik itu sendiri, bersama-sama dibesarkan dan membesarkan SALAM. Sedang teman-teman yang lain khawatir bahwa iklim musyawarah di SALAM juga punya potensi untuk ‘membelokkan’ SALAM ke jalan lain. Maka, peran Bu Wahya dan Pak Toto sebagai peletak pondasi nilai-nilainya sangat penting untuk menjaga arah dari gerakan, hari ini dan di masa depan.
Menjawab pertanyaan Rere di live tadi, Pak Toto percaya bahwa nilai-lah yang diwarisi oleh generasi masa depan. Bukan sosok belaka, sebab sosok selalu punya latar sejarah dan pemikiran yang berbeda. Bu Wahya juga mencoba menganulir dirinya sebagai satu-satunya tokoh yang membangun SALAM, bahwa SALAM menjadi tumbuh, itu karena kekuatan gotong royong komunitas. Bukan karena satu sosok saja. Ia adalah kumpulan ide satu komunitas. Tak ada lagi Wahya atau Toto selanjutnya, setiap orang punya sejarahnya sendiri. Dan setiap yang menyejarah, pasti akan berlalu pula. Peradaban adalah kumpulan akibatnya dari perubahan-perubahan kecil yang dilakukan oleh manusia, dan saya percaya, bahwa eksperimen yang dilakukan SALAM punya dampak yang baik bagi peradaban.
Selama 2 tahun di SALAM, Sesekali saya diajak Bu Wahya atau Mas Yudhis (Ketua PKBM) untuk menemani diskusi atau mengisi pelatihan. Hal menarik yang saya lihat adalah, ternyata banyak orang yang punya kegelisahan dan kesadaran yang sama seperti yang dipunyai oleh orang-orang SALAM, namun tak semua dari mereka punya keberanian untuk memulai tindakan nyata. Ketika bertemu kami, mereka mengaku terinspirasi untuk melakukan perubahan. Saya melihat, ternyata baik secara langsung maupun tidak langsung, dampak keberadaan SALAM membuat keyakinan orang menjadi teguh, bahwa mereka bisa melakukan–menciptakan perubahan, meskipun harus menentang arus. Disini letak kelebihan SALAM, SALAM mampu menunjukkan bahwa teori canggih saja tidak cukup, kita harus berani berpolemik dengan realitas di lingkungan sekitar. Tak dipungkiri bahwa keberanian dan respon adalah salah satu kekuatan menonjol SALAM, selain keterbukaan tentunya.
Dalam usianya yang ke 20 tahun ini, harus diakui bahwa SALAM membuka mata kita tentang arah dan kemungkinan baru. Membuat Lembaga Pendidikan tak harus berupa sekolah yang semua diatur oleh pemerintah. kita bisa lho bikin sekolah yang kita sendiri berdikari memikirkan konsepnya. SALAM menyajikan fakta bahwa dengan segenap idealisme yang dianut, sekolah tetap bisa berjalan. Tak peduli ia akan dihantam kanan dan kiri, diterjang waktu atau dihempaskan kebijakan karena politik. Toh SALAM tetap berdiri. Tak peduli meski harus berdiri di luar pagar ‘formal’.
Selamat Ulang Tahun SALAM! Teruslah belajar..
Fasilitator SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply