Sebuah peristiwa mampu melatih kepekaan dan membangun solidaritas. Pun demikian dengan menumbuhkan keberanian sekaligus membangun kesadaran kolektif untuk sebuah solidaritas. Terlebih tak ada satu gerakan atau perubahan sosial pun yang sukses dikerjakan sendirian.
“Mas, kalau kita mati pas demo gimana?,” tanya Foni kepadaku.
Belum sempat menjawab, Happy, muridku yang lain menjawab. “Ya nggak papa, kita lagi berjuang kok,” begitu timpalnya.
“Ini pertama kalinya bagi Foni ikut demo ya,” tanyaku. “Iya mas,” jawab Foni singkat.
“Terus apa yang kamu bayangkan ketika berangkat tadi?,” lanjutku bertanya.
“Aku tuh mbayangin bakal ricuh, penuh kekerasan,” ujar Foni.
“Terus, yang kamu lihat,” lanjutku lagi.
“Ya ternyata damai saja, tertib, bersih sekali malah,” ungkap Foni.
Percakapan ini terjadi antara saya, Foni, dan Happy, keduanya merupakan murid saya di SMA Eksperimental SALAM. Percakapan ini kami lakukan di sela-sela aksi #GejayanMemanggil yang melibatkan ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat.
Aksi #GejayanMemanggil adalah pengalaman pertama Foni, muridku di kelas 11 ikut demonstrasi. Foni, yang berasal dari Maluku, selama ini hanya menonton demonstrasi dari layar TV dan media sosial (medsos).
Foni sebelumnya memang tak punya rencana untuk ikut aksi di Pertigaan Colombo, Jogja itu. Tapi, karena tahu bahwa saya dan Happy, teman sekelasnya akan ikut, dia memutuskan untuk ikut. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai ke lokasi aksi, dua muridku ini tidak banyak berbicara, terutama Foni. Mungkin dia masih diselimuti oleh pikiran-pikiran buruk atas apa yang akan dilalui ke depan. Berbeda dengan rekan sekelasnya, Happy, yang sudah berulang kali ikut serta aksi turun jalan.
Kami berangkat ke lokasi aksi bersama pak Toto Rahardjo dan mas Panji, suami mbak Gerna rekan saya di kelas, dan empat karyawan mas Panji. Barangkali boleh dibilang, mereka ini buruh yang beruntungnya bukan main: diajak bosnya untuk membolos kerja dan demo!
Sampai di dekat Bundaran UGM, kami turun. Kemudian bergabung dengan massa yang sudah berkumpul di sana untuk ikut long march (yang sebenarnya, menurut saya termasuk kategori short march) dari Bundaran UGM ke titik aksi di Pertigaan Colombo, Jogja. Sedangkan pak Toto, yang kesulitan untuk berjalan, diantar sampai ke titik terdekat aksi.
Setelah memasang beberapa atribut aksi yang sudah dipersiapkan, kami berjalan dan bergabung dengan rombongan yang lebih besar. Suasana begitu hiruk-pikuk. Orang-orang dengan dan tanpa jas almamater bergantian menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Dengan tertib mereka berbaris sesuai dengan koordinatornya.
Saya melihat wajah Foni yang tampak sumringah. Raut cemas yang sedari tadi terus dia perlihatkan mulai hilang. Asumsi-asumsi yang ada di kepalanya kemungkinan perlahan hancur. Dia mengalami sendiri menjadi bagian dari gelombang demonstran.
Memang, tak selamanya demonstrasi itu menggunakan kekerasan fisik. Sampai pada titik ini, anak-anak berhasil melampaui asumsi-asumsi yang dibangun, entah oleh media, orang lain atau dirinya sendiri.
Untuk menghancurkan asumsi ini diperlukan keberanian. Keberanianlah yang coba dimunculkan dalam diri anak-anak. Lantas apa bedanya dengan nekat? Bedanya, ada pada pengambilan keputusannya.
Memunculkan keberanian diri anak tidak cuma urusan membakar emosinya. Namun juga membantunya dalam membangun argumentasi dalam pengambilan keputusannya. Ada hukum sebab-akibat yang harus dipatuhi.
“Kenapa kita harus demo mas?,” tanya Foni.
“Kamu lihat berita akhir-akhir ini,” tanyaku. “iya,” jawabnya singkat.
“Terus apa responsmu,” tanyaku lagi.
“Kesel lah,” ujarnya.
“Nah, yang kesel itu nggak cuma kamu, tapi banyak orang. Ada yang salah nih. Kemudian ada ajakan untuk turun dijalan. Gayung pun bersambut. Kesumat mereka akhirnya punya saluran,” jelasku.
“Memangnya apa pentingnya kita ikut,” Foni balik bertanya.
“Bahwa ternyata kita tidak sendiri yang merasa gelisah. Dalam gerakan atau upaya perubahan apapun, semua harus dilakukan secara bersama-sama. Kita tidak bisa mengupayakan sendiri. Kita butuh orang lain. Kita punya pilihan untuk diam di rumah, tapi kita memilih disini karena ada sesuatu yang penting yang harus kita hadapi,” begitu jawabku.
Selama aksi berlangsung, bersama peserta demo lain, mereka berjalan dari titik kumpul di Bundaran UGM menuju titik pusat di Pertigaan Colombo. Kemudian mereka juga berpindah-pindah tempat untuk mengamati suasana sekitar.
Hal ini, menurut saya, mampu melatih kepekaan dan membangun solidaritas. Sebagai teman mereka, saya tidak pernah berharap tiba-tiba mereka menjadi revolusioner, langsung berani meringsek ke depan barisan untuk orasi. Saya kira hal demikian adalah hal organik yang muncul dari anak.
Aksi #GejayanMemanggil ini menjadi media mereka untuk belajar banyak hal. Termasuk menghancurkan stereotype, menumbuhkan keberanian, dan membangun kesadaran kolektif untuk bersolidaritas. Sebab, tak ada satu gerakan atau perubahan sosial pun yang sukses dikerjakan sendirian. (*)
Fasilitator SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply