Pekan lalu, selama empat hari, saya mengunjungi Desa Lawen – desa kecil yang terletak di tengah perbukitan Banjarnegara, Jawa Tengah. Di desa ini eksperimen pendidikan Sanggar Anak Alam (SALAM) berawal. Selain untuk melacak jejak yang ditinggalkan SALAM di desa ini sekitar 20 tahun lalu, saya ke sini atas undangan pendiri SALAM, Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo, memfasilitasi pelatihan menulis untuk guru-guru SD di Banjarnegara.
Belasan tahun saya memfasilitasi pelatihan menulis, belum pernah saya menjumpai pelatihan menulis seunik pelatihan kali ini. Judul pelatihannya saja unik, diungkapkan dalam bahasa Indonesia dengan nuansa bahasa Jawa yang kental “Sinau Bareng Menulis”, belajar bersama menulis. Pelatihannya tidak diselenggarakan di dalam ruangan tetapi di pinggir jalan. Sehari sebelum pelatihan, warga sibuk bergotong-royong memasang tenda plastik di atas tiang-tiang bambu yang menjulang tinggi. Di depannya sebuah panggung berdiri, dengan gambar gunungan besar. Di tengahnya spanduk biru muda bergambar sebuah pena. Di atas panggung sejumlah anak muda menata alat musik, perpaduan antara alat musik tradisional gamelan dengan alat musik elektrik dan perkusi.
Kesibukan persiapan acara itu berlanjut malam harinya. Grup musik Desa Lawen “Tarbiyah Cinta” berlatih hingga lepas tengah malam, lengkap dengan peralatan pengeras suaranya.
“Warga di sini sangat mendukung kegiatan yang dilakukan anak-anak muda. Mereka malah akan bertanya-tanya bila tidak mendengar suara kami berlatih,” kata Slamet yang memegang alat musik tiup.
Grup musik Gamelan “Tarbiyah Cinta” mengadopsi genre musik KiaiKanjeng yang menggabungkan musik religius bernuansa Islam dengan musik Barat. Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun saat berkunjung ke Lawen gembira dengan kehadiran grup musik tersebut dan menyebutnya sebagai “Cucu Kiai Kanjeng”. Sebagai bentuk apresiasi, Cak Nun baru-baru ini menghadiahkan seperangkat alat musik bonang pada grup musik ini.
Pembukaan acara pelatihan esok harinya mirip hajatan. Peserta yang berdatangan dari desa-desa sekitar Lawen disambut dengan lagu-lagu religius dan pop barat baik yang klasik maupun yang lebih mutakhir dengan iringan musik barat yang berpadu dengan gamelan dan gendang. Menjelang acara dimulai, Tarbiyah Cinta mengumandangkan lagu-lagu bertema pendidikan sambung-menyambung, dari lagu ABCD dan nama-nama hari dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Jawa kuno, dan Arab ditutup dengan lagu Amir Membolos. Karena pelatihan ini resmi dilenggarakan oleh kelompok kerja guru, pelatihan ini dibuka oleh pejabat Dinas Pendidikan.
Mengapa guru-guru ini mau datang jauh-jauh untuk mengikuti pelatihan menulis? Pertama, karena guru-guru ini butuh sertifikat. Kedua, karena guru-guru ini diwajibkan mempublikasikan karya tulisnya dalam wujud buku untuk kenaikan pangkat. Menulis karya ilmiah, melakukan riset tindakan kelas memang sudah lama diwajibkan sebagai syarat kenaikan pangkat seorang guru. Ajaibnya, tidak ada usaha dari Dinas atau Kementerian Pendidikan untuk mendukung guru-guru memiliki kemampuan menulis. Inilah hanyalah bagian kecil dari persoalan yang dihadapi dalam pendidikan dan pengajaran yang dibirokratisasikan.
“Jangan-jangan pembuat kebijakan ini belum pernah menulis buku,” kata Toto Raharjo saat membuka acara.
Mereka layak belajar pada SALAM. Sanggar Anak Alam sepengetahuan saya merupakan sekolah yang paling produktif dalam menerbitkan buku. Pertama, buku “Sekolah Biasa Saja” yang ditulis oleh Toto Rahardjo berisi tentang filosofi, pemikiran, dan konsep-konsep pendidikan yang dipraktikkan di SALAM. Kedua, buku berjudul “Kami tidak Seragam” yang ditulis oleh anak-anak SALAM berisi tentang kegiatan riset yang menjadi jantung pemelajaran di SALAM. Buku ketiga, ditulis bersama oleh fasilitator SALAM dan dirangkum oleh Sri Wahyaningsih, Gernatatiti, dan Karuningtyas berjudul “Sekolah Apa Ini?”. Buku ini berisi tentang praktik pendidikan SALAM yang serba beda dengan sekolah umumnya di Indonesia.
Ada dua buku lagi terkait dengan SALAM. Satu buku kecil berisi kumpulan lukisan anak-anak yang mengikuti Kelas Taman Anak (TA) dengan narasi yang disampaikan anak dan dituliskan oleh orangtua murid. Buku ini terinspirasi dengan cerita George Orwell yang menulis puisi pertamanya di usia yang sangat dini dengan cara mendiktekan baris-baris puisi pada ibunya. Buku kedua buku mungil yang luar biasa berjudul “Memindah Dapur ke Halaman”. Buku ini menceritakan bagaimana Gernatatiti, seorang fasilitator SALAM, mendampingi anaknya belajar melalui petualangan sehari-hari yang menyenangkan.
Di awal pelatihan, Sri Wahyaningsih dan Karunianingtyas berbagi pengalaman dengan peserta bagaimana memulai belajar menulis dan persyaratan apa yang diperlukan untuk bisa menulis.
Apa yang saya tawarkan dalam pelatihan ini sama seperti yang saya tawarkan pada guru-guru dan aktivis pendidikan dalam pelatihan menulis di berbagai kesempatan. Saya mengajak mereka untuk menuliskan pengalaman pemelajaran secara naratif. Mengapa menulis naratif? Pertama, supaya tulisan mereka bisa menjangkau khalayak yang lebih luas dan dapat menjadi bahan dialog di antara para guru ataupun dengan masyarakat. Kedua, penulisan naratif berbasis pengalaman pemelajaran akan mendorong guru berinovasi, beresperimen, dan memproduksi tulisan original. Riset-riset tindakan kelas – boleh dicek – hampir tidak terbaca, tidak bermutu, mengulang-ulang yang sudah ada, mekanistik, copy-paste. Pendeknya, seburuk-buruk tulisan.
Tulisan-tulisan praktik pemelajaran yang kritis merupakan basis gerakan pendidikan progresif yang dilakukan rethinkingschools di Amerika Serikat. Gerakan ini dimulai sekitar 30 tahun lalu, dimulai oleh belasan guru dan dosen, dan kini memiliki pengaruh yang besar dalam pembaharuan pendidikan di Amerika Serikat. Selama beberapa tahun terakhir, saya bersama kawan-kawan Sekolah Tanpa Batas mencoba memperkenalkan ini di Indonesia. Ada hasilnya meski bergerak begitu lambat.
Ada cerita sedih dan cerita menggembirakan dari pelatihan ini. Cerita sedihnya, sebagian besar guru yang ikut pelatihan ini tidak memiliki pengalaman menulis. “Pengalaman menulis saya hanya menulis di papan tulis,” jawaban itu berulang dan berulang ketika peserta diminta berbagi cerita tentang pengalaman menulisnya. Di akhir pelatihan, kami menugaskan para guru untuk membuat dua tulisan pendek, sekitar 200 kata saja. Tulisan tentang kegiatan pelatihan dan hasil wawancara dengan sesama guru. Sampai larut malam, kami hanya menerima kiriman dua tulisan.
Esok harinya saya meminta para guru menulis secara deskriptif dengan teknik kamera, judulnya “Potret Diri”. Beberapa peserta membacakan tulisannya. Ternyata, pengalaman pertama menulis tanpa mengutip bisa menghasilkan tulisan yang menarik. Pasti jauh akan jauh menarik bila tulisan itu diedit dengan kejam. Jadi pelatihan dua hari itu memberikan harapan.
Lantas apakah guru-guru ini nanti bisa menulis atau lebih jauh lagi bisa menerbitkan buku sendiri yang bisa dinikmati oleh orang lain? Sementara ini saya tidak bisa menjawab. Menulis membutuhkan konsistensi berlatih terus-menerus. Saya merasa cukup bisa menulis setelah bergulat dengan pekerjaan tulis-menulis selama lima tahun. Menulis juga membutuhkan prasyarakat yang tidak bisa dihilangkan, yaitu membaca. Ini persoalannya, sebagian besar guru-guru tidak memiliki pengalaman membaca kecuali membaca buku-buku terbitan Universitas Terbuka. Seorang guru bercerita, ia tidak pernah membaca buku kecuali buku pelajaran.
Sekecil apapun harapan itu, kami tetap berharap ada di antara peserta pelatihan yang kelak akan menghasilkan tulisan yang bagus. Lebih penting lagi, tidak mungkin kita mengajak dan mengajar anak-anak kita suka membaca dan menulis bila kita sendiri tidak terbiasa membaca dan menulis. []
Eks. Wartawan Harian Kompas. Direktur Sekolah Tanpa Batas.
Leave a Reply