Bagaimana caranya? Mampukah saya? Ini pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya, tiga semester lalu, ketika Bu Dian pertama kali memanggil saya untuk menemani Arsa belajar menjahit menggunakan mesin. Betapa tidak, mengajar menjahit saja bagi orang lain saja saya belum pernah, apalagi menemani seorang remaja dengan spektrum autistik belajar menjahit menggunakan mesin manual. Apakah saya mampu melakukannya?
Saya memang tidak asing dengan Arsa, saya kerap mengamatinya menyulam di depan kelas, mengamati bahwa karya sulamannya juga sudah menjelajah ke beberapa negara, dan pernah menontonnya menari bersama sebuah komunitas tari di jogja. Saya takjub dengan karya sulamannya, karena saya juga menekuni bidang craft selama ini sehingga memahami tingkat kerumitan jenis kegiatan yang satu ini. Saya takjub dengan talenta yang dimiliki oleh Arsa. Tapi saya tidak pernah menduga akan mendapat kesempatan untuk bereksplorasi bersama.
Sebelum pertemuan pertama kami, saya banyak bertanya pada orang tua dan fasilitator kelasnya tentang infomasi awal yang perlu saya ketahui. Ini membantu saya agar bisa cepat menyesuaikan diri dengan Arsa nantinya. Saya juga mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan, apakah dia bisa menerima saya sebagai fasilitator menjahitnya dan mau berproses lebih lanjut, atau justru sebaliknya. Jadilah, pertemuan pertama lebih banyak saya gunakan untuk memperkenalkan saya dan memperkenalkan bagian-bagian mesin jahit pada Arsa. Saya memperkenalkan bagaimana memasang benang dan mengoperasikannya 2 kali dan selanjutnya Arsa bisa memasang sendiri, begitupun pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Di sini saya mulai menemukan bahwa Arsa sanggup memahami sebagian besar petunjuk yang diberikan secara visual dan beberapa kali menolak instruksi verbal.
Pada pertemuan-pertemuan berikutnya saya mencoba mengekplorasi karakteristik Arsa, apa yang dia sukai, apa yang tidak, bagaimana cara dia memroses instruksi yang saya berikan dan bagaimana dia merespon pada keadaan sekitar. Kami mencoba untuk membuat berbagai produk, mulai dari pouch, sarung bantal, wall-hanging, taplak, hingga selimut. Tapi memang saya mengamati progress terbaiknya adalah saat berproses membuat patchwork, bahkan Arsa pernah membuat selimut patchwork yang lebarnya 2×2,5 meter. Dari sini saya menemukan kaitan antara karakteristik autistik yang menyukai kegiatan rutin dan repetitif dengan kemampuan dia membuat pola patchwork, ada kesamaan dari keduanya yaitu pengulangan. Karakter pengulangan, kemampuan komunikasi visual, kemauan yang keras, dan konsisten ini adalah potensi dari karakter autis Arsa yang justru bisa mendorong ia menyelesaikan patchwork bahkan dengan ukuran yang besar sekalipun. Ini menjadi catatan penting bagi saya untuk proses selanjutnya.
Tapi rasanya kurang seru jika proses kami lancar-lancar saja, tentu saja kami juga punya sederet permasalahan yang dialami. Dari mulai ketersediaan alat, mesin jahit yang beberapa kali rusak, sehingga semester terakhir Arsa harus membawa mesin jahit secara mandiri. Tapi lagi-lagi saya menemukan, ini sama sekali bukan masalah bagi Arsa, dia bisa beradaptasi dengan cepat. Lalu soal ruangan, mengingat kami tidak punya ruangan workshop menjahit di Sanggar Anak Alam, seringkali kami harus berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain sesuai ketersediaan. Buat saya, hal ini bisa dimaklumi dan disikapi dengan biasa, tapi bagi Arsa ini bisa menjadi permasalahan. Seorang anak autis menyukai suatu hal yang rutin dan pasti, menyesuaikan diri dengan tempat baru seringkali membutuhkan waktu lebih bagi mereka, dan bukan tak jarang memantik tantrum.
Tantrum memang bisa dialami oleh siapa saja, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Tapi tantrum yang dialami anak autistik lebih kompleks, selain energi yang dikeluarkan sangat besar ditambah kesulitan berkomunikasi verbal membuat kami berdua di posisi yang sama-sama tidak paham apa yang diinginkan. Begitu pula yang dialami oleh Arsa, di saat tantrum, dia bisa menangis, lompat-lompat, merusak barang, mengusir dan memukul orang lain, dan bahkan bisa saja melukai dirinya sendiri. Saya sudah pernah menghadapi itu semua. Kebingungan pasti, tapi bersyukur semua bisa diatasi dan biasanya Arsa bisa melanjutkan aktivitias dengan tenang. Bagaimana caranya? Biasanya dengan memberinya pengertian dan memberikan waktu jika memang diperlukan Arsa untuk bisa mengontrol emosinya.
Pernah juga orang-orang terdekatnya, seperti fasilitator kelas dan orangtuanya, diusir oleh Arsa dari ruang belajar kami, bisa jadi memang menjahit menjadi kegiatan yang sangat personal, sekaligus dikarenakan sifat posesif Arsa kepada fasilitator jahitnya. Kadang kemarahannya juga bisa dipicu oleh keramaian atau kerumunan di sekitar tempat ia beraktivitas. Oleh karena itu, kami cenderung mencari tempat yang tenang dan tidak banyak orang lalu lalang.
Lalu bagaimana dengan evaluasi belajarnya? Saya biasanya mendiskusikannya setiap progress dan tantangan yang kami hadapi dengan fasilitator kelas dan orangtuanya. Sementara bagi Arsa sendiri, dia akan merasa sangat puas ketika ia bisa menyelesaikan setiap projectnya sampai tuntas. Biasanya saya akan memintanya untuk foto bersama karyanya ketika ia telah menyelesaikannya, dan dia memahami ini sebagai reward atas capaiannya.
Proses menjahit bersama Arsa ini memang telah kami jalani bersama selama 3 semester, tapi kami juga masih memiliki PR ke depannya. Salah satunya adalah menemukan pendamping tahap lanjut yang mau berproses bersama Arsa dan juga dapat diterima oleh Arsa, karena untuk mempelajari skill lebih lanjut juga memerlukan seorang faslitator denga skill yang tepat. Kedua adalah menemukan metode belajar yang tepat dan dapat dipahami oleh Arsa ketika ingin meningkatkan kemampuan dan skill Arsa.
Anggapan umum bahwa anak berkebutuhan khusus tidak bisa memiliki prestasi dan capaian yang lebih tinggi rasanya kurang tepat, sepanjang kita bisa menemukan metode yang tepat yang mampu mendorong mereka mengeluarkan potensi terbaik dari dirinya, saya yakin anak autistik pun mampu berkarya dan berdaya. []
Fasilitator
Leave a Reply