Di tengah geliat pekerja literasi di Rumah Baca Komunitas (RBK) saya sebagai orang tua SALAM JOGJA mendapatkan kesempatan mengalami kilas sejarah Sanggar Anak Alam (Salam) di Lawen bersama Bu Sri Wahyaningsih (pendiri Salam Jogja dan juga Lawen) dan keluarga orang tua SALAM lainnta, Mas Panji, Mas Nano dan Mbak Gerna serta anak salam, Sandhi dan Jalu. Atas kebaikan Mas Panji saya diberikan kesempatan berharga ini untuk belajar autobiografi pegiat pendidikan, Ibu Wahyaningsih (juga peran-peran “tak tertandingi” Pak Toto Rahardjo).
Ibu Wahya, demikian akrab kita panggil, aktif berkegiatan di desa Lawen, Pandanarum, Banjarnegara pada medio 1988-1996. Di tahun-tahun ini salam Lawen ibarat pembawa obor zaman pencerahan (renaissance). Dari kisah langsung dari penutur pelaku di sini, saya merasa kejayaan pendidikan di Indonesia kecil bernama Lawen pernah memasuki abad ke-emas-an. Tak heran jika bu Wahya diganjar dengan penghargaan ASOKA atas inisiatif dan keberpihakannya pada pendidikan di desa. Bu Wahya jelas-jelas telah mengirimkan kabar baik pendidikan kita: menanamkan mental merdeka dan juara untuk semua anak. Tanpa terkecuali.
Lawen merupakan nama desa (mempunyai 7 dukuh) sekaligus nama pedukuhan sehingga menjadi pusat beragam aktifitas masyarakat. Lawen terletak 57 kilometer dari kota Banjarnegara, 10 kilometer dari Kalibening, dan sekitar 5 kilometer dari kota kecamatan Kebunarum. Yang seru adalah proses menuju lokasinya karena dituturkan suasana infrastuktur jalanan pada tahun 80-an dengan kemudahan akses hari ini. Untuk menggapai Lawen, dibutuhkan waktu minimal 6 jam dari Kota Yogyakarta (driver pengalaman). Sepanjang jalan kita bisa melihat kekayaan alam, juga bisa berkaca pada biografi Salam dan manusia SALAM lewat memori bu Wahya uang disajikan layaknya menu makanan sepanjang perjalanan kami. Beberapa percakapan saya sempat merekamnya dengan recorder Android.
Di hari kedua (6 Agustus 2016) saya mengambil gambar di depan bangunan karya Mangunwijaya (1986) yang sekaligus menjadi perpustakaan desa Lawen (lihat gambar papan nama di atas). Bangunan ini didesain Romo Mangun dan dikerjakan bersama warga dan menggunakan skill manusia Lawen. Satu hal yang meski tak boleh dilupakan, bangunan ini diselesaikan tanpa menciptkan residu (sisa) atau setidaknya meminimalisir. “Romo mangun selalu berusaha mendayagunakan sisa-sisa material bangunan. Tak boleh ada sisa”, ungkap Bu Wahya.
Bangunan ini memang kecil untuk ukuran ‘sekolah’ namun Salam memang punya cerita berbeda karena ‘alam raya adalah sekolah’, demikian ini menjadi paradigma sehingga anak-anak tidak dipenjarah di dalam sekolah, di dalam tembok yang dipagari besi sekelilingnya. Pendidikan salam adalah pendidikan yang membebaskan dan bukan yang menindas. Karenanya, salam tak bermimpi punya bangunan dengan parkiran kendaraan yang bagus dan ruang-ruang kelas ber-AC. Tentu juga SALAM tak terjebak pada ideologi “full day school” karenanya sejatinya sekolah itu seumur hidup tidak dibatasi waktu 24 jam sehari-samalam. Ini hanya pandangan saya sekilas tentang SALAM karena saya baru saja menjadi murid sekaligus orang tua murid di SALAM JOGJA.
Melihat separuh bangunan artisistik perpustakaan roboh rasanya saya ingin terlibat membangunnya kembali. Tentu saja dengan kekuatan yang mungkin bisa saya lakukan, mungkin banyak orang bisa melakukannya. Bagi saya, bangunan persegi sebesar 7×8 meter ini adalah cagar budaya pendidikan alternatif yang memerdekakan dan memanusiakan. Hal ini perlu dicatat agar ketika dihidupkan kembali tak meninggalkan keaslian bangunan untuk mewarisi nilai-nilai perjuangan Romo Y.B Mangunwijaya.
Di kampung kecil ini ternyata juga sudah terbentuk korp alumni Salam yang diberikan nama cukup filosofis yaitu “Anane 29”. Berjumpa langsung dengan laskar alumni salam yang sudah melalang buana melakoni kehidupan di sudut-sudut nusantara merupakan kebahagiaan tersendiri. Terlebih sebagian dari mereka memutuskan untuk pulang ke desa dan peduli pembangun desa. Anak-anak muda yang sangat bertanggungjawab atas Indonesia kecilnya di Lawen. Mereka benar-benar berani ambil resiko untuk ‘mudik’ selamanya di desa. Padahal, skill mereka luar biasa jika digunakan untuk sekedar mengumpulkan pundi-pundi ‘kesejahteraan’ di Jakarta atau kota-kota besar.
Lawen dibasahi hujan sejak sore hari. Setelah kita diskusi/sharing barring dari jam 8 sampai dengan jam 11 malam, paginya kelompok Anane sudah bergiat membersihkan situs bersejarah yang kemudian saya sebut dengan perpustakaan “Romo Mangun” alias pusat belajar kehidupan, SALAM. Selain itu teman-teman Anane juga sudah membentuk KUB Sanggar Argo Lestari — suatu unit usaha bersama untuk membangun desa. Salah satu niat baiknya adalah membuktikan bahwa orang Lawen bisa hidup di desa dan bahagia.
Malam itu, snack hangat berupa ondol dan gorengan tempe menambah asik obrolan panjang. Ondol merupakan makanan khas Lawen yang terbuat dari bahan singkong yang diparut lalu dikemas bulat-bulat lalu di goreng. Gurih dan mengenyangkan. Sampai-sampai mas Panji perutnya mules bercampur kembung setelah dua hari non-stop dibombardir ondol (bukan ondel-ondel ya).
Perpustakaan desa ini dulunya sudah pernah mengalami babak sejarah gemilang. Ada ribuan judul buku mengalir dari Jakarta dan Yogyakarta untuk mendukung kegiatan belajar salam. Itu tahun-tahun bergemuruh etos hidup desa Lawen. “…Gramedia pernah mengirimkan satu mobil penuh bersisi buku ke Lawen”, ujar Bu Wahya yang tak lelah bercerita kepada kami setiap kesempatan. Bahkan, kami bertiga sudah ngantuk bu Wahya masih bersemangat bertutur soal perjuangan pendidikan, kebebasan, dari ujung timur nusantara sampai barat Indonesia, dari Yogyakarta sampai PBB.
Selain nilai tanggungjawab, solidaritas dan kejujuran yang menancap kuat di alumni salam. Saya melihat, pasukan Anane ini adalah sebenar-benarnya manusia pembelajar. Bisa kita lihat, keahlian mereka saling melengkapi mulai dari pertukangan, melukis, perikanan, pertanian, percetakan, arsitek, fotografi, dan keterampilan lainnya. Wajar saya lihat, mas Panji yang sangat menghargai keterampilan langsung jatuh cinta pada pasukan Anane dan tak sabar untuk berbagi gagasan ke depan — SALAM LAWEN mau kemana? Dan SALAM JOGJA harus bagaimana?
Sebagai pegiat literasi, saya sangat berhusnudzon bahwa mentalitas pembelajar dan etos hidup bekerja dengan keringat sendiri salah satunya ditempa dari berbagai ragam bacaan di perpustakaan Mangunwijaya ini. Buku tetaplah menjadi alat perjuangan paling damai untuk menggapai kemajuan. Bu Wahya dan anak-anak didiknya di Salam Lawen telah membuktikannya dengan sempurna. Aku tak bisa menangkalnya, selain bahwa ini adalah Indonesia maju yang pernah diukir di kampoeng kecil bernama Lawen.
Inilah kisah nyata praktik pendidikan manusiawi yang menghargai hidup alami (lokalitas) dan juga mendayagunakan sumber pengetahuan berupa buku. Sinergesitas demikian telah menghasilkan anak didik/alumni yang bernalar kritis meski ‘sekolahannya hanyalah sekolah biasa saja’.
Nasib rak-rak buku (gambar di atas) ini butuh pertolongan, butuh pengasuhan seperti 26 tahun lalu yang dinamis dan hidup. Ada kekuatan bersama yang kita miliki untuk mengisi rak-rak buku di atas dengan mimpi, dengan buku-buku yang niscaya akan membangkitkan semangat hidup masyarakat desa. Di Indonesia ini perlu lebih banyak Lawen-Lawen yang kuat seperti Lawen Banjarnegara 26 tahun silam yang bertenaga-berdayaubah demi kemajuan warga dan alam semesta.
Menghidupkan kembali Sanggar Anak Alam Lawen
Gerakan bersama mempercepat pemulihan Sanggar Belajar untuk memenuhi pendidikan alternatif yang berkualitas bagi masyarakat di desa Lawen, Banjarnegara.
Orang tua sekaligus murid SALAM. Penggiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Penggiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas.
Leave a Reply