Anastasia Irianti
Bernama lengkap Anastasia Irianti, yang akrab disapa Bu Ririn ini kelahiran tanggal 4 Desember 1964 tinggal di Jogonalan Tirtonirmolo Kasihan Bantul. Putri kedua dari 4 bersaudara Bapak Roto Sudarmo yang dulu karyawan Pabrik Madukismo, Pabrik Gula milik Kasultanan Yogyakarta yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Sejak SMA sudah kehilangan ibundanya tercinta Ibu Maria Magdalena Wasiyem, sehingga sejak saat itu berada dalam asuhan neneknya.
Perempuan lulusan SMEAN I Yogyakarta yang berhobi olahraga ini juga menyukai aktivitas komunikasi di udara, bahkan menjadi anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) dengan kode panggilan GCZ (Golf Charlie Zolo) atau Z 12 GCZ. Penyuka buah Naga, Jeruk dan tidak menolak segala menu masakan ini selalu bersepeda kemanapun ia beraktivitas, sehingga membuat tubuhnya subur dan bugar untuk aktif dalam setiap kegiatan sosial. Dengan senang dan iklas ia selalu gampang untuk dimintai pertolongan dalam kegiatan sosial untuk amal dan kemanusiaan.
Bu Ririn bergabung dengan SALAM tahun 2006 setelah gempa besar melanda Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bantul memiliki jumlah korban cukup banyak. Dengan alasan ingin belajar menjadi manusia yang utuh, sabar, cerdas ia bergabung dengan komunitas Salam yang menurutnya memberinya suasana alami yang nyaman, dan rasa kekeluargaan yang erat. Dengan bergabung bersama anak-anak yang memiliki berbagai karakter merupakan caranya untuk bisa memahami karakter masing-masing anak.
Bagi Bu Ririn SEKOLAH itu adalah mencari ilmu setinggi-tingginya untuk meraih cita-cita. Dan BELAJAR baginya adalah keingintahuan akan banyak hal, kepuasan akan suatu pencapaian.
Bu Ririn yang memiliki motto hidup yaitu: Hidup itu harus berguna mempunyai pedoman bahwa orang hidup berdampingan harus saling menghargai. Sehingga terbangun keharmonisan.
Saat ini Bu Ririn menjadi fasilitator TA Salam, dan tak akan meninggalkan SALAM dengan segala keceriaan teman-teman kecilnya itu, yang setiap hari dilayaninya dengan sepenuh cinta.
Ratri Ayu Widiyaning Astuti
Lahir di Magelang tanggl 8 Juni 1994, Ratri Ayu Widiyaning Astuti adalah bungsu dari 7 bersaudara, putri dari Bapak Waldji Purwoko dan Ibu Tri Rahayuningsih, dimana keenam kakaknya semua laki-laki.
Jauh dari Magelang di Dusun Kambengan Rt 01/Rw 03 Donorejo, Secang, gadis lajang tamatan SMA/IPS ini tinggal di Yogyakarta bersama keluarga kakaknya yang beralamat di Jl. Prapanca No.6 Gedongkiwo Yogyakarta punya hobi membaca dan mendengarkan jenis musik yang sedikit melow ini tertarik bergabung dengan SALAM karena ingin banyak belajar dengan proses belajar yang berbeda dari sekolah lain.
Gadis yang punya panggilan Mbak Ayu, sesuai dengan wajahnya yang memang ayu ini baru bergabung dengan SALAM tanggal 15 Januari 2016.
“Di Salam saya juga belum lama, jadi belum paham tentang Salam. Yang saya tahu Salam itu sekolah yang lebih ke anak, bakat/ide-idenya yang selalu digunakan untuk bahan yang akan diajarkan.” Demikian Ayu mengungkapkan dan semua itu membuat ia bersemangat untuk semakin banyak belajar terutama dari anak-anak. Karena bagi Ayu belajar adalah proses perubahan di dalam perilaku, potensi sebagai hasil dari pengalaman/ latihan yang diperkuat sehingga belajar itu tidak memandang usia, belajar juga dapat diambil dari mana saja dengan membaca, banyak bertanya, menonton film dan media lainnya. Baginya seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilaku. Masih menurut Ayu yang berkeinginan untuk kembali menuntut ilmu itu, SEKOLAH adalah: Tempat didikan bagi anak-anak, tentang mengajarkan anak untuk menjadi anak yang mampu menggapai cita-citanya sesuai dengan keinginan anak dan dengan dibantu atau difalisitasi Guru.
‘Tidak akan berhenti sampai hari ini, yakin hari esok akan lebih baik’ Mbak Ayu masih merasa nyaman dan semakin betah mendampingi anak-anak TA SALAM sebagai media belajar bagi dirinya hingga hari ini.
Hesti Sunarsih
‘terbius oleh tatapan anak-anak yang tersenyum tanpa beban’
Bapak Stevanus Ngadino almarhum dan Ibu Maria Mursantini ini memberi nama HESTI SUNARSIH pada putri keempat dari 6 putra-putrinya, yang lahir di Sukoharjo pada tanggal 13 Agustus 1973. Setelah menamatkan Sekolah Lanjutannya di Klaten, ia kuliah di Fakultas Geografi UGM jurusan Pengembangan Wilayah. Dan menikah dengan Susilo Budi Purwanto seorang seniman perupa yang cukup handal di kota Yogyakarta. Bersama suami dan putra semata wayangnya Rowang Pramudito, Bu Hesti – demikian perempuan ini disapa – saat ini tinggal di Jl. Kresno 20, Mejing Wetan, Ambarketawang Indah, Sleman Yogyakarta.
Penyuka musik-musik new age seperti Leo Kristi, Enga, Julie Cruise, yang juga hobi membaca dan fotografi ini sudah 9 tahun bergabung di Salam.
Konsep SALAM yang ‘nyempal’ dari mainstream itulah yang pada awalnya menjadi ketertarikannya sehingga kenapa ia bergabung dengan SALAM. Menurut Bu Hesti “Salam sebagai satu gerakan yang berani menghidupkan keyakinan akan ide-ide pendidikan yang bagi saya waktu itu cukup berani dan revolusioner.”
Tersirat dari namanya ‘HESTI SUNARSIH’ yang bermakna penuh harapan yang bersinar penuh kasih itulah Bu Hesti memiliki kelembutan hati yang didamba oleh anak-anak didiknya di TA Salam. Sebaliknya Bu Hesti sangat ‘jatuh hati’ dan terbius oleh tatapan mata anak-anak. “Saat saya mulai merekam gerak aktivitas anak-anak, lewat fotografi yang saya gemari, saya sangat menikmati saat berinteraksi dengan mereka. Saat saya bisa menyentuh hatinya, yang nampak dari keakraban dan kepercayaan yang terjalin secara alamiah. Dari situ saya belajar berkomunikasi dengan mereka. Satu ketrampilan yang melibatkan otak/pikiran dan rasa/hati,” begitu ungkap ibu satu anak yang sangat rajin mendokumentasikan kegiatan dan aktivitas proses belajar anak-anak TA ini dengan kamera yang selalu dibawanya.
Dengan perasaan dalam ia juga mengatakan, “Bagi saya sangat menantang. Saat bertemu anak untuk yang pertama kali, selalu membuat saya penasaran untuk ‘mengulik’ lebih dalam, kecenderungan-kecendurangan alamiahnya, bagaimana saya akan meresponnya dan akan menaklukkan hatinya.” Itulah kenapa Bu Hesti sangat perhatian dan peduli pada perkembangan dan pendampingan proses belajar anak-anak secara personal dan individual, karena masing-masing anak itu punya keunikannya sendiri-sendiri yang masing-masing dari mereka membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Bagi Bu Hesti yang memaknai BELAJAR sebagai: Mencari Kebenaran, yang berarti berani melepas dan tidak takut kehilangan ini melihat pendidikan usia dini sebagai peletak dasar bagi pendidikan selanjutnya, sehingga Pendidikan Usia Dini harus benar-benar menjadi fokus perhatian kalau menginginkan kebaikan perkembangan seorang anak secara benar dan tepat.
Margareth Widhy Pratiwi
‘Hidup untuk berbagi’
Lahir di Yogyakarta pada tanggal 27 Desember 1961. Ayahnya adalah seorang pelukis slebor becak satu-satunya di Yogyakarta bernama Sokiran Ciptosetiyono. Anak kedua dari 6 bersaudara dengan 2 orang ibu, Margareth Widhy Pratiwi menjalani masa sekolah hingga berkeluarga di Yogyakarta. Saat ini tinggal bersama suaminya Anthon Ys Taufan Putera seorang seniman teater, dan 5 orang putra-putrinya,dari 7 bersaudara, di desa Nitiprayan RT 02, Ngestiharjo Kasihan Bantul. Dua orang putri pertama dan keduanya tinggal di Batam dan telah memberinya 5 orang cucu. Setelah lulus SMA mengikuti crash program pendidikan Guru TK pada tahun 1983.
Hobynya menulis yang dimiliki sejak kecil, terpupuk berkat bimbingan suaminya yang tekun mendampingi melalui teori sastra yang diperoleh lewat disiplin ilmu sang suami di Sastra Inggris UGM. Ketekunannya menulis membuahkan hasil dengan diraihnya beberapa kejuaraan lomba penulisan yang dimenangkan baik dalam bahasa Jawa maupun Indonesia. Beberapa karya yang menang skala nasional antara lain: Tahun 2006 meraih juara 2 Sayembara Penulisan Naskah Pengayaan untuk SMP yang diadakan oleh Pusat Perbukuan, Dinas Pendidikan Nasional Jakarta. Tahun 2007 memenangkan Lomba Penulisan Cerita Rakyat, yang diadakan oleh Pusat Bahasa Jakarta. Karya novel berbahasa Jawanya banyak menjadi penelitian mahasiswa Sastra Jawa dari berbagai perguruan tinggi. Novel berbahasa Jawa ‘Kinanti’ memenangkan lomba penulisan Novel Jawa dan telah direkam menjadi Audio Book. Ia juga aktif dalam komunitas Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta yang berkantor di Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menjadi fasilitator penulisan, serta menjadi redaksi Majalah Pagagan. Majalah Sastra Jawa terbitan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta.
Bergabung dengan SALAM sejak tahun 2003 dengan memberi pendampingan pada anak usia remaja. Mendampingi pelatihan jurnalistik anak dan bersama teman-teman Salam menerbitkan Koran Desa ‘Halo Ngestiharjo’ yang bermotto: Anak Bicara, Bicara Anak dan bertahan selama 2 tahun. Berhenti karena minimnya SDM dan keterbatasan dana. Pada tahun 2007 bergabung menjadi fasilitator di TA hingga saat ini.
Hidup adalah berbagi. Kebahagiaan akan bertambah jika kita mau berbagi, kesedihan akan berkurang jika kita mampu berbagi. Itulah alasannya ia bergabung dengan komunitas Salam, ia ingin berbagi dengan banyak orang yang memiliki aneka latar belakang, namun mempunyai misi yang sama yaitu BELAJAR. Dan belajar baginya adalah proses pencarian yang tak pernah berhenti. Belajar itu tak lain adalah pergulatan hidup itu sendiri. Pergulatan, pergumulan yang bersinggungan dengan banyak orang, dengan aneka konflik adalah proses yang membutuhkan tantangan tersendiri.
Sementara proses belajar yang berlangsung di SALAM dari jenjang KB hingga SMP merupakan gerakan yang menantang orang untuk mau berubah dan menemukan kemerdekaan berpikir. Untuk itulah Margareth Widhy Pratiwi yang disapa Bu Widi ini meski kadang masih penuh pergulatan namun memantapkan hati untuk tetap menerima tantangan mendampingi anak-anak dengan menjadi fasilitator TA hingga hari ini.
Baginya di dunia ini banyak warna ditawarkan pada manusia, merah, kuning, hijau, biru, ungu, jingga, lila dan lain sebagainya yang semuanya indah dan bisa dipilih. Namun pada akhirnya manusia hanya akan disodorkan pada dua pilihan warna yaitu: HITAM dan PUTIH. Dan Salam adalah pilihan. Jika ada SALAM kenapa pilih yang lain. Nah!
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply