Dunia Pelangi di Atas Bumi
Kamis pagi, 28 September 2017, lima belas anak kelas 5 Sekolah Dasar SALAM (Sanggar Anak Alam), lari berhamburan memasuki pintu gerbang IBOEKOE. Mereka menyebar ke berbagai penjuru halaman depan gedung Bale Black Box, Jl. Sewon Indah, nomor 1, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Di antara mereka, ada tiga anak muda fasilitator (guru). Lima belas dibagi tiga: satu fasilitator, mempunyai kewajiban menemani proses belajar lima anak. Belajar apa? Belajar mengenal pustaka dan kerja-kerja kearsipan yang dikelola komunitas gerakan literasi Indonesia Buku.
Mengenalkan kerja-kerja literasi pada anak usia sekolah dasar, bukanlah perkara mudah. Ketika saya mendapat kabar bakal ada kunjungan lima belas anak kelas 5 SD, saya langsung berpikir keras; kira-kira media apa dan pola pendekatan bagaimana yang dianggap cocok untuk belajar bersama anak-anak SD? Sementara saya bukanlah seorang guru, apalagi guru SD. Saya belum pernah punya pengalaman mengajar atau berdiri di depan kelas, menerangkan mata pelajaran, di hadapan anak-anak sekolah dasar. Hari-harinya saya hanya punya pengalaman menemani belajar anak lelaki saya, Zapata Ra Kean, umur tujuh tahun, kelas I SD.
Meskipun sangat menguras energi dan pikiran, bahkan sampai menggangu jam tidur malam, saya tetap berusaha merancang sebuah kelas untuk proses belajar bersama anak-anak SD SALAM. Saya mencoba membuat simulasi memilah dan memilih diksi, gaya bahasa dan intonasi suara, gerak mimik muka dan bahasa tubuh, sambil membayangkan apa yang bakal terjadi ketika berinteraksi langsung dengan mereka. Hingga saatnya Kamis pagi tiba, saya masih ngeblank (bingung), merasa belum menemukan formula yang tepat (minimal mendekati pas) dalam menggelar proses belajar bersama anak-anak SD mengenal pustaka dan kearsipan.
Pustaka dan kearsipan merupakan dua hal paling mendasar bagi kerja-kerja literasi dan penting untuk dikenalkan pada anak-anak sejak mereka memasuki usia pertengahan sekolah dasar. Tapi sangat tidak mungkin bagi saya mengajak belajar mereka dengan cara menghafal arti, mengeja pengertian secara harfiah bahwa pustaka adalah bla bla bla. Atau arsip itu terbagi dalam sekian jenis: Ada arsip berupa anu dan ada arsip berjenis itu. Saya tidak mau membatasi imajinasi mereka dengan pengertian-pengertian secara verbal dan harfiah. Saya juga tidak ingin menyeragamkan imajinasi mereka. Saya percaya setiap anak itu punya kecerdasan, bentukan, dan potensi masing-masing. Tidak ada anak terlahir sambil membawa kebodohan. Setiap anak terlahir membawa warna dan ciri khas tersendiri, tidak seragam.
Anak-anak masa tumbuh kembang atau usia sekolah dasar adalah fase paling kuat dalam mengembangkan imajinasi. Banyak imajinasi yang mereka kembangkan terkadang di luar nalar orang dewasa. Dan saya sebagai orang dewasa, malah kerap kali mendapat pelajaran tak terduga dari mereka. Dalam belajar, mereka hanya membutuhkan stimulus untuk membuka pintu keberanian dan kesempatan mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan. Orang dewasa hanya perlu menemani dan menjaganya, tidak lebih. Dunia anak adalah dunia penuh kejutan, dunia warna warni, dunia pelangi di atas bumi.
Mengenal Pustaka dan Arsip Agar Move On
Setelah anak-anak cukup puas hilir mudik, naik turun tangga melihat dan mengamati ruang-ruang beserta isi yang ada di Indonesia Buku: Perpustakaan dan ruang baca di lantai dua, ruang pameran dan diskusi di lantai satu, galeri arsip koran dan majalah, etalase warung buku, studio radio buku, dan dapur serta kamar mandi, mereka malah memilih duduk melingkar di atas stage (panggung) kecil di halaman depan studio radio buku. Mereka membuat ruang kelas proses belajar di halaman terbuka, tidak dilakukan di dalam ruang kelas konvensional (ruang tertutup). Saya mencoba mengikuti formasi yang mereka bentuk. Saya ikut duduk melingkar di antara mereka.
Menghadapi tatapan belasan pasang mata bocah-bocah berusia 10-11 tahun yang penuh tanya, membuat saya semakin gugup, gagap, dan nyaris gagu. Apalagi saya belum menemukan pegangan metode belajar bersama anak-anak yang dianggap tepat. Akan tetapi, tidak bisa tidak, kelas belajar bersama mengenal pustaka dan arsip harus segera dibuka dan dimulai. Tiba-tiba ekor mata saya menangkap satu baris kalimat yang ditulis menggunakan cat semprot warna hitam di dinding pondasi stage: “Setiap nama penulis dan sastrawan harus diarsipkan, tanpa kecuali nama-nama yang baru muncul” (HB. Jassin). Reflek saya membuka kelas belajar bersama dengan mengajak anak-anak mengenalkan nama dan diri satu persatu: mulai dari menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan, alamat rumah dan nama orang tua, hobby yang disukai dan permainan yang tidak disukai, terakhir menyebutkan buku—yang pernah dibaca, dipegang, dibacakan, atau sekadar dilihat—yang masih mereka ingat, termasuk bagaimana perjumpaan mereka dengan buku tersebut. Apakah dari meminjam atau beli? Pinjam di mana, punya siapa? Beli di mana, bersama siapa, menggunakan uang hasil apa? Uang hasil tabungan dari sisa jajan atau sumber lainnya?
Dengan antusias, mereka bergiliran memperkenalkan diri, tidak lupa pula menceritakan buku-buku yang mereka baca. Sebagian besar perjumpaan mereka dengan buku-buku bacaan di perpustakaan sekolah. Tidak ada satupun yang menceritakan buku yang mereka baca merupakan koleksi pustaka keluarga di rumah. Dan sebagian besar buku yang mereka baca adalah komik, selebihnya; buku cerita rakyat. Ada juga yang bercerita bukan membaca buku, tapi majalah; mereka menyebutnya buku besar. Yang menarik adalah, ketika salah seorang anak bertanya: kenapa Perpustakaan dan Arsip Indonesia Buku diberi nama IBOEKOE (dibaca IBUKU)? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajak mereka mengingat kembali masa kecil. Pertama kali kita belajar berbicara dan bertanya, apakah dengan bapak atau dengan ibu? Serentak mereka menjawab; “Dengan Ibuuuuu….!” Nah, ibu seperti halnya buku, tempat kita bertanya dan belajar. Ibu laiknya pustaka pertama kita, orang yang selalu mengajak kita tidak lupa belajar. Selain melahirkan, ibu juga yang mencatat dan merekam serta memperhatikan masa tumbuh kembang kita sebagai anak-anak zaman dan peradaban. Ibu, laiknya sebuah buku yang melahirkan sekaligus mencatat pertumbuhan dan perkembangan peradaban.
Selesai belajar bersama “Ibuku, Perpustakaan Pertamaku”, giliran materi mengenalkan arsip dan fungsinya. Kali ini mereka mengajak pindah duduk dari stage halaman depan masuk ke ruang diskusi di samping ruang arsip. Setelah semua duduk melingkari meja diskusi, saya mengajak anak-anak untuk bercerita saat usia sekolah PAUD-TK, ada rekam jejak (raport) hasil belajar tidak? Serentak mereka menjawab: “Adaaaaaaaa…!!!” Nah, ketika hendak daftar masuk Sekolah Dasar, biasanya orang tua kita akan membawa raport hasil belajar PAUD-TK. Selain raport, yang dibawa sebagai persyaratan daftar masuk SD apa? Salah seorang dari lima belas anak ada yang langsung menjawab; “harus membawa surat akta lahir.” Sebuah jawaban yang cukup mengejutkan. Dari hal tersebut, kemudian saya mulai mengajak anak-anak memahami bahwa buku raport maupun lembaran akta lahir, itu semua adalah arsip. Ya, arsip diri, rekam jejak perjalanan belajar saat sekolah, serta identitas kita sebagai warga negara.
Selain arsip berupa lembaran kertas, bentuk lainnya ada tidak? “Ada. Salah satunya arsip berbentuk suara dari rekaman, seperti hasil rekaman radio. Ada juga arsip berbentuk gambar dan audio visual (gambar bergerak, video, film).” Kali ini fasilitator pendamping anak-anak ikut berbicara. Kalau begitu, mari coba kita rumuskan sebernarnya arsip itu apa dan kegunaanya untuk apa? Setelah semua saling menyebutkan dan mengusulkan arti maupun makna serta kegunaanya, kemudian dirangkum menjadi sebuah kaliamat sederhana bahwa arsip itu adalah: “Rekam jejak atau catatan dokumen baik dalam bentuk lembaran kertas, suara, gambar maupun benda lainnya yang mengajak kita mengingat kembali peristiwa masa lalu, kemudian disesuaikan dengan kebutuhan sekarang, agar move on dimasa depan. Itulah pengertian arsip yang dirumuskan bersama anak-anak kelas 5 SD SALAM (Sanggar Anak Alam) Yogyakarta, saat mereka belajar bersama di IBOEKOE. []
Aktivis Literasi
Leave a Reply