Mengikuti workshop ini adalah mukjizat. Angan-angan yang sudah saya timbun dengan BBM (waduh penimbun BBM nih wkwk) tiba-tiba muncul lagi dengan dorongan yang lebih kuat. Sebelum saya semakin puitis, izinkan saya menjadi manusia dengan bahasa biasa saja dulu ya.
Kegelisahan kami (saya dan istri) pada mulanya adalah kebingungan mencari calon sekolah bagi anak-anak kami. Anak kami berumur 3 dan 4 tahun. Saat ini sudah bersekolah di Citaloka, sebuah sekolah inklusif dengan tagline “sekolah menyenangnkan”. Saya cukup bersyukur dan terinspirasi oleh Tante saya yang membuat Sekolah Citaloka. Di Citaloka adalah awal saya mengenal sistem kesepakatan di kelas, sekolah tanpa seragam, boleh datang terlambat, pelajaran berbasis tema, dll. Hal-hal baru saya dapatkan sebagai orang tua, padahal yang sekolah anaknya, tapi kami juga ikut belajar.
Untuk saat ini, kegelisahan kami cukup teredam, karena sudah ada tempat yang aman untuk anak-anak kami. Namun masa depan belum tentu. Citaloka belum memiliki SD-SMP-SMA dan universitas, lalu mau kemana anak-anak kami akan pergi setelah dari Citaloka. Pilihan pertama yang jatuh ke pikiran kami adalah Homeschooling. Beruntung saya bisa mendapat cerita dari orangtua maupun anak-anak yang homeschooling, sehingga bisa mendapat materi untuk menimbang-nimbang apa yang harus kami pilih esok. Pertanyaan terbesar ketika homeschooling adalah “nanti anaknya punya teman engga ya?”. Pertanyaan ini sempat dijawab oleh Mbak Aniek, praktisi Homeschooling, bahwa jika pandangan terhadap teman adalah sempit, maka anak-anak homeschooling tentunya tidak punya teman sekolah. Namun anaknya justru memperluas sendiri arti teman menjadi teman ayah dan ibunya adalah temannya juga. Tetangganya, tidak melihat usia, adalah teman-temannya juga. Jadi tidak ada masalah dengan teman. Justru semakin banyak temannya akan dimiliki.
Kalau boleh lebih jauh ke dalam lagi, pondasi dari segala kegelisahan saya dan istri adalah refleksi dari proses pendidikan kami selama ini. Pertama, saya memiliki ketidaksukaan yang tinggi dengan proses belajar saya selama ini disekolah-sekolah formal yang pernah saya tempuh, bahkan sampai hari ini (saya sedang mengikuti program S2). Sebagai contoh, ketika di SMA 3 Yogyakarta, saya sering sekali membolos. Saya lebih suka belajar dengan ngobrol dengan teman-teman, main pingpong, baca buku sendiri, dan lain-lain. Saya merasa di kelas adalah buang-buang waktu, karena saya cepat menangkap pelajaran dan cepat mengerjakan soal ujian, maka saya tidak suka menunggu teman-teman lain yang belum selesai. Saya sering sekali keluar kelas, entah ke WC dan kemanapun. Hal ini terjadi bahkan sampai sekarang. Saya akan dengan sukarela keluar kelas sangat lama jika proses perkuliahan tidak saya sukai. Yang paling berbahaya adalah saya suka menulis bebas sedangkan sekarang saya harus menyusun proposal tesis yang mewajibkan mengutip dan hal-hal akademis lain. Ini menghambat proses penulisan saya karena saya tidak suka diatur dalam menulis. #alasan #tapinyata
Saya mudah mengantuk. Satu refleksi yang ingin saya bagi disini. Saya mudah mengantuk, baik karena mudah bosan atau karena memang kecapaian. Namun ada hal lain yang perlu digarisbawahi, saat saya diuji tentang materi yang dijelaskan saat saya mengantuk, saya selalu bisa. Pada suatu hari, saya bertemu teman-teman praktisi hipnotis. Ternyata ada kesinambungan antara ngantuk saya dan pemahaman. Ngantuk adalah memasuki gelombang beta dan teta, gelombang untuk hipnotis. Alam bawah sadar mendapat informasi dan akan tersimpan dan bisa di recall. Berarti selama ini saya menggunakan konsep ini, namun tidak sadar. Maka dari itu, sekarang saya semakin percaya diri terkantuk-kantuk di depan muka dosen saya. Bukan karena tidak menghormati, namun karena itu cara belajar saya. Asalkan tidak sampai tidur, karena kata teman saya, kalau tidur itu sudah masuh gelombang otak delta, alias sudah tidak sadar lagi.
Dari pengalaman mengantuk saja saya bisa bercerita cukup banyak. Entah berapa kali guru saya mengeluh tentang kantuk saya. Entah berapa kali saya dianggap anak gajelas karena di kelas cuma tidur-tiduran. Entah berapa kali saya disuruh pergi dan cucimuka. Semua orang yang menganggap kantuk saya dikelas sebagai anomali akan mematikan potensi saya belajar menggunakan metode saya tersebut.
Satu pengalaman lain yaitu saat kelas 3 SMA, kegiatan saya dan beberapa teman sehari-harinya adalah datang ke sekolah untuk bermain ping-pong. Pada semester 2, saya dipanggil oleh Pak Mario, guru olahraga yang dulunya terkenal galak. Saya ditanya, “kenapa kok ga masuk kelas?”. Saya jawab, “saya kalo dikelas gamudeng e pak, kalo di les-les-an saya paham. habis sekolah saya kan les pak”. Pak Mario menjawab dengan bijak, “yaudah ping-pong lagi aja”. Disitu saya merasa merdeka, akhirnya untuk UN SMA saya belajar intensif hanya 3 bulan terakhir, Lha wong hanya untuk sebuah nilai saja kok wkwkw easy easy.
Lulus SMA, saya keterima di FEB UGM karena saya ambil tes UMPTN IPC. Saya SMA-nya IPA. Waktu tes UMPTN kegiatan saya cuma melingkari semua soal IPS saja, wong tidak pernah tau dan mencari tau tentang apa yang kira-kira akan ditanyakan. Dan akhirnya saya keterima. Alhamdulillah. Ternyata untuk masuk ke UGM bukan masalah belajar formalnya saja, tapi tentang bagaimana kita percaya diri dan ngawur disaat yang bersamaan, dan belajar berpasrah (ini yang tidak diajari di sekolah, seperti-sepertinya kalau kita belajar tidak akan kalah dengan orang-0rang yang diberi keberuntungan seperti saya wkwkw).
Kok malah cerita tentang saya ya. Saya mau cerita tentang istri saya juga, dia kuliah kedokteran. Dia selalu mengeluh dengan lamanya (dan sambil bisik-bisik tentang mahalnya) proses pendidikan dokter. Ditambah lagi dengan senioritas yang ada di dunia kedokteran. Ditambah lagi banyak hal yang membuat saya iba dan akhirnya njajake dia lotek kesukaannya wkwk. Kebetulan ketika dia sedang ko-as, saya sedang belajar kedokteran timur. Saya sempat iseng-iseng jadi terapis kesehatan alternatif beberapa bulan, disitu kami banyak berdiskusi. Mendiskusikan industri kesehatan dan lain-lain, tujuannya sih biar dia galau dan mikir aja sih wkwkw (peace mbok :*).
Kami berdua sama-sama sepakat bahwa masa sekolah dulu masa yang tidak enak (pelajarannya ya, kalau pertemanan yang nakal-nakalan sangat menyenangkan wkwk). Akhirnya ketika poster workshop salam keluar, saya langsung ingin ikut. Istri saya juga nyuruh saya ikut. Dan akhirnya saya menghubungi CP untuk bertanya-tanya dan menutup dengan kalimat “Saya baru tanya dulu, besok kalau uangnya ada saya mau ikut mbak”. Karena memang kenyataannya uangnya tidak ada.
Uangnya terus tidak ada sampai pendaftaran menjelang berakhir. Akhirnya saya harus memutuskan untuk tidak ikut saja dengan harapan taun depan ada lagi dan bisa ikut. Saya hubungi Mbak Dian dan menyampaikan bahwa saya jadinya tidak ikut. Ok masalah selesai. Toh saya juga sudah baca buku Sekolah Biasa Saja karya Pak Toto Raharjo dan sudah pernah datang sekali ke bedah bukunya. Aman aman.
Sampai suatu hari, saya broadcast pengumuman tentang acaranya Jono Terbakar. Salah satu broadcast masuk ke Mbak Dian, kok malah dibalas dengan pertanyaan, “mas masih mau ikut workshop?”. Jawabannya tentu MAU!. Lalu saya dibuatkan janji untuk bisa bertemu dengan Pak Toto. Singkat cerita saya bertemu dan berbincang dengan Pak Toto (itu adalah hari pertama saya ke SALAM). Dan saya diberi beasiswa untuk mengikuti workshop. Alhamdulillah. Saya mau bernafas sebentar ya disini, dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Toto dan Bu Wahya atas kesempatan yang diberikan.
Pada kali pertama saya ke SALAM itu, saya cukup kaget. Anak-anak tidak ada yang berseragam, ada yang rambutnya dicat warna-warni, kegiatannya “cuma” menyiapkan Pasar Ekspresi yang akan dihelat esok harinya, dll. Kesan pertama adalah saya melihat banyak ketidakformalan dan ketidaknormalan disana. Saya sempat berbincang juga dengan Pak Toto, Mbak Gerna, dan Mbak Dian. Perbincangan itu memberi saya sedikit insight tentang Salam. Dalam pembicaraan itu juga diputuskan bahwa saya akan ikut mengisi panggung Pasar Ekspresi esok harinya. Hore. Saya cukup kaget bahwa sudah ada orang yang tau tentang Jono Terbakar di SALAM haha.
Esok harinya, saya datang mengajak anak dan istri saya. Istri saya sudah sangat penasaran dengan Salam (dari cerita saya dan dari baca-baca). Hari itu kami melihat sendiri sebuah komunitas pembelajaran yang tidak hanya anak dititip ke guru, namun orang tua juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah.
Lalu tibalah hari workshop. Saya datang awal, sekolah masih sepi. Saya ingin melihat seperti apa sekolah ini dimulai. Baru saja hujan, lapangan becek. Ternyata hari dimulai dengan anak-anak datang dan becek-becekan, kalau saya jadi gurunya sudah tentu akan ribuan kata “JANGAN” terlontar. Namun disitu tidak ada yang mempermasalahkan, bahkan tidak ada bel sekolah. Saya terkesan dengan keadaan SALAM yang menyerupai “Sekolah tapi bukan sekolah”. 4 hari kedepan saya cukup mendapat gambaran yang untuh tentang apa yang dilakukan di Salam sebenarnya.
Untuk teman-teman yang suka membaca, saya sarankan baca buku Sekolah Biasa Saja karya Pak Toto Rahardjo untuk mengetahui tentang SALAM. Hampir semua yang ada dibuku adalah materi workshop, cuma mungkin bedanya adalah pengalaman untuk hands-on dan learning by doing di SALAM yang membedakan. Saya yang sudah membaca bukunya saja masih banyak terkejut ketika mendapati bahwa kenyataan yang hadir cukup mengagetkan. Belum lagi tambahan cerita dari Pak Toto dan Bu Wahya sebagai pendiri yang menyentuh hati dan kadang-kadang membuat tertawa juga, ikut mengingat masa-masa lalu SALAM.
Saya tidak bisa terlalu banyak bercerita di tulisan ini, karena untuk mengetahui SALAM diperlukan kemauan dari diri untuk mencari dan harus merasakan sendiri berada di SALAM minimal 1x24jam. Jika Anda memiliki kegelisahan yang sama dengan yang saya alami, saya akan dengan sangat senang hati berkorespondensi dengan Anda di email nihan.lanisy@gmail.com atau bisa ngobrol di Sangat Coffee.
Setelah mengikuti workshop ada 2 hal yang ingin saya lakukan: a) berada di SALAM lagi dan b) membuat sangat yunifersiti. Karena tulisan ini kurang terstruktur dan kurang waktu (sengaja dibuat kesusu dalam sekali penulisan dan tanpa edit), maka perkanankan saya selesaikan disini dan selamat bertanya-tanya lebih jauh. Terimakasih SALAM atas pembelajarannya :* []
Yogyakarta, 26 November 2018
Nihan Lanisy
Musisi Jono Terbakar, Alumni Merancang Sekolah Merdeka SALAM
Leave a Reply