Di awal tahun ajaran, dalam catatan pribadi saya, saya menggarisbawahi prinsip utama pendidikan alternatif yang diusung sekolah ini yaitu memberi ruang seluas-luasnya kepada anak-anak, mengurangi instruksi dan larangan bahkan ungkapan kekawatiran, menggantinya dengan kebebasan berimajinasi, memberi kepercayaan dan dorongan untuk bertumbuh secara pribadi karena setiap pribadi itu istimewa. Sekolah tidaklah dipandang sebagai upaya mencetak batu bata (dalam buku Sekolah Biasa Saja yang ditulis oleh Bapak Toto Rahardjo). Jika boleh mengutip dari buku tersebut, “yang diperlukan adalah situasi dan ruang agar siswa mampu mengolah kesulitan-kesulitan, mampu mengalahkan kebimbangan, ketakutan, rasa minder, rasa tidak berdaya, depresi, dan kondisi psikologis lainnya. Juga tak kalah pentingnya adalah agar mereka mampu melampaui fase membeo, meniru-nirukan dan menghafalkan belaka hingga sanggup menemukan jati dirinya.”
Betapa tampak muluk kalimat di atas tadi. Saya merasakannya sebagai sebuah keniscayaan kemudian setelah menjalani “kehidupan” di SALAM. Sebelumnya saya sendiri ragu perihal idealisme pendidikan seperti itu, karena saya pun produk dari pendidikan masa lalu, dengan masih banyaknya perintah, belajar diartikan sebagai duduk manis dan tidak ribut, kemudian kebiasaan di dalam keluarga yang masih membekas hingga saat ini. Memang tidak mudah untuk melakukan perubahan pendidikan yang benar-benar membebaskan seperti ini, tapi bukan berarti tidak layak dicoba serta dijalani.
Sejak awal saya bergabung sebagai warga belajar SALAM, saya mengalami dan merasakan betul bagaimana sekolah mewah alias mepet sawah ini sangat menjunjung tinggi kerjasama antara orangtua dan fasilitator. Saya menyebut diri warga belajar karena memang di SALAM, semuanya murid dan semuanya guru. Dan FORSALAM atau Forum Orangtua SALAM ini adalah bukti nyata bahwa hak kepengasuhan adalah sepenuhnya milik orangtua. Saya sebagai orangtua telah menyanggupi dan bertanggung jawab penuh untuk mendukung kegiatan belajar di SALAM, bersama dengan orangtua-orangtua yang lain tentunya. Kami tidak lagi hanya memikirkan diri sendiri dan anak kami namun juga rekan-rekan dan anak-anak dalam komunitas ini.
Salah satu bentuk keterlibatan orangtua di dalam proses pembelajaran adalah dengan adanya kegiatan Home Visit (atau Belajar di Rumah). Kegiatan ini diagendakan sebulan sekali namun juga mempertimbangkan kesiapan masing-masing orangtua dan anak. Berikut ini adalah kisah belajar di rumah Atta (siswa TA/Taman Anak).
Sore itu, tepatnya 10 September 2018, pukul 16.16, saya membaca pesan di grup WA orangtua kelas TA, yang menginfokan kegiatan home visit di rumah Atta pada tanggal 14 September 2018. Di dalam pemberitahuan tersebut, anak-anak diminta membawa 10 lembar daun apa saja dan alat penumbuk seperti munthu dan sejenisnya. Alat dan perlengkapan tersebut nantinya akan digunakan dalam kegiatan bermain bersama dan praktik ecoprinting.
Saat membaca pesan tersebut, ingatan saya melayang pada lembaran kain-kain cantik kreasi rekan saya di komunitas yang lain, yang katanya harganya ratusan ribu bahkan hingga jutaan dan sangat diminati konsumen mancanegara. Wow….ecoprinting, tapi lalu sejenak saya berpikir, mengapa ecoprinting bisa mahal harganya kalau hanya membutuhkan daun-daun dan munthu? Apakah yang akan dilakukan bersama anak-anak besok adalah jenis ecoprinting yang lain? Hmm saya memilih untuk membiarkan saja rasa penasaran ini, nanti saya pasti tahu karena langsung mengalaminya sendiri. Padahal biasanya saya akan mencari informasi di mesin pencari atau bertanya-tanya seputar tekniknya. Saya hanya menyampaikan info tersebut kepada Gara anak saya—agar dia juga penasaran.
Hari demi hari menjelang pelaksanaan home visit tersebut, cukup ramai para orangtua memperbincangkannya. Mulai dari pembahasan jenis daun, alat penumbuk, warna-warna yang bisa dihasilkan dan berbagai persiapan lainnya. Hampir semuanya aktif di dalam grup, tak terkecuali para fasilitatornya. Semua ingin mendekat, semua ingin terlibat, sementara hari-hari berlalu begitu cepat.
Akhirnya hari itu pun datang juga, hari ini. Pagi-pagi benar Gara sudah kubangunkan dari tidurnya, karena kami berencana memetik beberapa helai daun jati di dekat rumah kami. Lingkungan sekitar rumah kami memang masih banyak terdapat populasi pohon jati. Katanya daun jati bisa menghasilkan warna merah kecokelatan. Kami memetik 10 helai saja dengan berbagai ukuran, karena saya juga belum tahu pasti berapa ukuran kain yang disediakan.
Menurut informasi dari tim home visit bulan September ini yaitu Mbak Ningrum (mama Ganis), Mbak Tini (mama Sofi) dan Mbak Vivien (mama Atta), sebaiknya daun yang digunakan adalah daun yang segar bukan daun kering, daun yang tidak terlalu banyak mengandung air, misalnya daun srikaya, daun mangga, daun jambu dan daun anggur. Jika daun yang dipilih terlalu banyak air, maka hasil cetakan/ pola akan menjadi “jemek” dan cenderung kurang bagus.
Saya dan Gara berangkat dari rumah pukul 8.05, dengan perjalanan kira-kira 1 jam ke arah timur kota Jogja. Rumah Atta ada di daerah Taman Siswa. Kami sempat mampir dulu di kios buah untuk membeli pisang mas sebagai snack. Sesuai kebiasaan yang ada di SALAM, kami biasa membawa potluck snack untuk acara bersama. Masing-masing orangtua membawa snack sehat yang jumlahnya tidak ditentukan, lalu semua snack akan dikumpulkan dan nantinya dapat dinikmati bersama. Inilah keindahan perbedaan dalam kebersamaan di komunitas ini, meskipun baru soal yang nampak sepele, yakni makanan kecil.
Sampai di rumah Atta, ternyata masih sepi, hanya ada beberapa orangtua dan juga fasilitator yang menyambut kami. Gara pun memilih main-main dulu setelah kami bersalaman dengan mereka yang sudah hadir. Rumah Atta cukup luas dan sangat kondusif untuk bermain. Sebelumnya rumah ini sudah pernah dikunjungi, kata Mbak Vivien mama Atta, namun untuk kunjungan teman-teman kakak Atta yang juga bersekolah di SD SALAM. Di rumah Atta, sangat dekat dengan beberapa hotel dan homestay. Pemandangannya juga masih asri, masih banyak pepohonan meskipun termasuk lingkungan kota. Di halamannya ada ayunan, dan tempat duduk dari ban bekas untuk bersantai dan bercengkerama. Otomatis perhatian anak-anak tertuju pada ayunan tersebut, kemudian dipakai bergantian sambil menunggu teman-teman yang belum datang. Sementara itu, para orangtua yang sudah datang, menuju ke dalam untuk mengumpulkan snack dan membantu persiapan yang dibutuhkan.
Kira-kira pukul 10.00, hampir semua orangtua dan anak-anak sudah hadir, kecuali mereka yang tidak datang karena izin sakit serta keperluan yang lain. Mbak Winda salah satu fasilitator pun mengajak anak-anak berkumpul dan berdoa di halaman sebelum kegiatan. Setelah itu, anak-anak berjalan perlahan menuju pintu masuk rumah, lalu beberapa saat kemudian, “Permisi…,” anak-anak lucu itu meminta izin untuk memasuki rumah kepada orangtua yang ada di dalam. Dari sini, anak-anak akan belajar salah satu bagian dari sopan santun, yaitu mengucapkan permisi sebelum masuk ke rumah orang lain. “Silakan masuk…,” dan orangtua pun menyambut serta membalas ucapan mereka dengan senyum hangat.
Berikutnya Mbak Winda mempersilakan anak-anak untuk mengeluarkan daun-daun dan peralatan yang mereka bawa. Jika belum membawa daun, tidak apa-apa, karena mereka akan berjalan-jalan ke luar, mengamati lingkungan sekitar rumah Atta, sambil mengenal dan mencari daun-daun yang unik untuk mereka gunakan dalam praktik ecoprinting nanti. “Apakah boleh memakai bunga?” tanya Arunda salah seorang anak, yang kemudian memakai bunga itu di telinganya. Tentu saja diperbolehkan, bunga-bunga juga akan menghasilkan warna yang tak kalah menarik.
Selesai berkeliling, anak-anak sibuk memperlihatkan perolehan masing-masing. Ada yang memetik banyak daun meskipun sudah membawa, contohnya anak saya. Ternyata banyak daun dan bunga yang berbentuk unik dan membuat mereka ingin memetiknya. Daun-daun dan bunga dibawa ke halaman rumah Atta, lalu semuanya berkumpul karena kegiatan akan segera dimulai. Kami semua duduk melingkar.
Mbak Ningrum yang mendapat jatah memimpin penjelasan ecoprinting, mengawali kegiatan dengan mengajak anak-anak bernyanyi bersama. Setelah anak-anak cukup tenang, Mbak Ningrum memberikan contoh bagaimana mengaplikasikan ecoprinting dengan daun dan bunga menggunakan munthu dari kayu. Mula-mula, daun/bunga diletakkan di atas kain dengan posisi tulang daun berada di atas/ terbalik, sedangkan bunga sebaiknya dipetik kelopak-kelopaknya supaya lebih mudah dibentuk, namun jika tidak, juga tidak apa-apa. Kemudian, daun ditutup dengan plastik, dianjurkan memakai plastik bekas. Setelah itu, daun ditumbuk atau dipukul-pukul dengan alat pemukul sampai air yang terkandung di dalamnya keluar dan meresap ke dalam kain. Proses memukul ini bervariasi tergantung bentuk dan ketebalan daun dan bunga juga. Kira-kira 5-10 menit saja waktu yang dibutuhkan. Setelah itu, daun/bunga perlahan-lahan diangkat, maka akan terbentuk pola di kain serupa daun dan bunga tadi. Itulah yang disebut dengan ecoprinting, yaitu teknik mencetak warna secara alami. Dan teknik yang dicontohkan Mbak Ningrum ini merupakan teknik yang paling sederhana dan sesuai untuk anak usia TA/TK (bisa juga buka Bobo.id untuk tahu teknik yang lebih detail). Jika pola sudah terbentuk dan warna alami sudah muncul, sebetulnya bisa dianggap selesai, namun agar warnanya lebih awet, kain dapat direbus atau direndam dalam air tawas, kemudian dijemur.
Keriuhan mulai terjadi saat anak-anak mempraktikkan kegiatan ecoprinting di dalam rumah. Mengapa di dalam? Ya…karena hasil akan lebih baik apabila permukaan lantai untuk menumbuk adalah permukaan yang rata, tidak bergelombang seperti di halaman tadi. Saya pun memilih tempat di pojok sesuai permintaan anak saya. “Tok…tok…tok..tok…,” bunyi alat pemukul baik dari kayu dan batu yang saling bersahutan memecah keheningan di dalam ruangan semi terbuka itu. Semuanya terlibat aktif termasuk orangtua dan fasilitator. Beberapa yang yang saya amati kemudian saya foto dan rekam dengan handphone saya. Semua tampak sumringah, seolah-olah para orangtua melepaskan beban harian yang menghimpit karena kesibukan masing-masing, seloroh kami di dalam percakapan grup WA siang tadi.
Anak-anak tak kalah bersemangat namun beberapa ada juga yang sudah lelah, karena memukul berulang-ulang. Jika sudah begini, kami orangtua dan fasilitator tentu tak tinggal diam. Kami juga membantu mereka. Mereka tak perlu dipaksa harus menyelesaikan setiap cetakan dengan sempurna. Di dalam pendidikan yang menghargai proses, adalah tabu mengharuskan kesempurnaan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Biar saja anak-anak ini berproses dengan gembira. Bagi yang sudah bosan pun tetap diperbolehkan bermain di luar ruangan.
Kira-kira setelah setengah jam berkegiatan bersama mengaplikasikan teknik pewarnaan ini, kami semua bersitirahat, sambil menikmati makanan ringan dan minuman es timun segar. Ahhh rasanya “nyess” di kerongkongan, apalagi cuaca memang panas. Anak-anak mulai mengambil makanan dan minuman, ada juga yang memilih ayunan dan berlarian. Ibu-ibu mengobrol di dalam ruangan, bapak-bapak tak mau kalah berbincang-bincang di halaman.
Karena waktu semakin siang dan sudah saatnya makan, Bu Ririn fasilitator yang lain pun mengajak anak-anak berkumpul dan berdoa sebelum makan. Makan siang sudah dihidangkan di meja. Semuanya makan bersama dengan lahap. Ada yang makan di luar dan ada yang di dalam. Seperti di sekolah, selesai makan, anak-anak dan orangtua mencuci sendiri peralatan makan yang dipakai. Antri, merupakan satu kebiasaan lain yang dilakukan di SALAM, tak terkecuali jika kegiatan berlangsung di rumah teman, dan berlaku untuk semua saja, bukan hanya anak-anak. Kalau kita ingin anak-anak baik, maka sebagai orangtua harus memberi contoh yang baik pula bukan?
Setelah makan siang, keluarga yang memiliki kepentingan lain boleh pulang terlebih dahulu, namun yang tidak, masih diperkenankan berada di sana, sambil ikut membereskan “kekacauan” yang terjadi di rumah itu. Kekacauan? Oh….tidak sama sekali, karena banyak orangtua yang bekerjasama membantu setelah acara selesai, kata Mbak Vivien mama Atta sang pemilik rumah. Mbak Vivien sangat senang karena semua anak juga senang. Masalah yang kotor-kotor itu mudah dibersihkan, dan “Saya tidak merasa repot sama sekali,” kata beliau.
Saya pun berpamitan pada mereka semua, dan segera pulang. Kegiatan hari ini sungguh menyenangkan, “Menyisakan senyum dan tawa, menyaksikan dan denger suara munthu beradu,” semua terkesan dengan keseruan ecoprinting hari ini.
Saya tak ingin kehilangan momen spesial ini, maka saya ambil pulpen dan buku catatan untuk mengabadikannya. Saya juga menyempatkan diri untuk bertanya beberapa pertanyaan kepada tim home visit bulan ini. Mengapa Mbak Ningrum dan tim ini memilih kegiatan ecoprinting untuk anak-anak? Karena, selain disesuaikan dengan tema pembelajaran “tanaman”, menurut ecoprint sesuatu yang unik, back to nature, bisa mengenalkan berbagai cara membatik, salah satunya dengan ecoprint. Anak-anak bisa berhubungan langsung dengan alam. Media belajarnya ada di sekitar kita, mudah dan murah meriah—juga dapat menarik minat orangtua. Selain itu ecoprint dapat melatih kreativitas, ketelatenan dan kesabaran. Bisa juga untuk mengenalkan warna kepada anak-anak. []
Orang Tua Siswa SALAM
Leave a Reply