Blog

“SETIAP TEMPAT: SEKOLAH. SETIAP ORANG: GURU. SETIAP BUKU: ILMU.”

“Semua Orang Guru, Semua Orang Murid” bukan hanya sekadar jargon yang kini sering jadi quote semacam kata bijak kategori pendidikan—Semua Orang Guru, Semua Orang Murid merupakan cerminan cara pandang (paradigma) yang dianut terkait dengan manusia.Cara pandang tersebut tercermin dalam penyelenggaraan proses belajar yang menitikberatkan bahwa semua orang menjadi subjek belajar, semua orang menjadi pusat pengetahuan.

“SETIAP TEMPAT: SEKOLAH. SETIAP ORANG: GURU. SETIAP BUKU: ILMU.” Sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh Roem Topatimasang __ seorang pegiat  eksperimen pendidikan politik kritis di beberapa pedesaan Jawa Barat dan Tengah (1988-1989), seorang guru keliling sukarela jaringan ‘Sekolah Rakyat’ di pedalaman Indonesia Timur; Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Timor, dan Papua  (1990-1996).

Menurut Roem Topatimasang dalam buku Sekolah Itu Candu (INSISTPress, 1998), sekolah dalam bahasa aslinya, yakni kata skholescolascolae, atau schola (Latin), secara harafiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Sangat tidak mungkin terjadi kekeliruan penyebutan kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan ‘school’, yakni asal mula kata ‘sekolah’ dalam bahasa kita sekarang.

Orang Yunani tempo dulu memiliki kebiasaan mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk menanyakan dan mempelajari hal atau perkara -ikhwal apa saja yang mereka rasakan atau inginkan untuk diketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skholescolascolae, atau schola. Keempatnya punya arti sama: ‘waktu luang yang digunakan khusus untuk belajar’ (leisure devoted to learning).

Kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu, lama-kelamaan dengan seiring waktu berjalan, tidak hanya sebagai kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan itu juga diberlakukan pada anak-anak, terutama anak laki-laki__yang nantinya dapat menjadi pengganti sang ayah. Kemudian perkembangan kehidupan yang makin beragam dan menyita waktu, sang ayah atau merasa bahwa tidak lagi memilki waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anaknya. Kebiasaan itu pun dialihkan kepada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang dan tempat dimana mereka sendiri dulu pernah ber-skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang memang mereka anggap patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.

Tidak Hanya Anak Semua Orang Melakukan, Foto Yanuar Surya

“Sejak saat itulah, peralihan sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini biasa juga disebut sebagai ‘ibu asuh’ atau ‘ibu yang memberikan ilmu pengetahuan’ (alma mater).

Waktu terus berlalu. Para orangtua makin terbiasa saja memercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orang-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah tersebut, dalam jangka waktu semakin lama dan dengan pola yang semakin teratur pula. Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat khusus yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib, dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orangtua anak-anak itu.” hal. 5-6.

Lalu sekolah itu apa? Roem memberikan analisa dan contoh-contoh persekolahan. Mulai dari 1) Universitas Rockefeller__rahim tempat lahirnya para peraih hadiah Nobel; 2) Akademi Jakarta__suatu lembaga yang dimaksudkan sebagai pusat pemikiran bagi pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Para anggotanya diangkat seumur hidup dari kalangan seniman dan budayawan terkemuka (pada 1970-1980an); 3) Sekolah Terbuka __jenis sekolah yang sebagian besar pelajarannya dilakukan dengan metode jarak jauh ; 4) Sekolah/kursus ketrampilan berjangka pendek dan menengah, atau program non-gelar dalam jalur sistem multi-strata perguruan tinggi Indonesia yang tidak menyediakan gelar-gelar akademis. Namun, tetap saja menyediakan sertifikat atau surat kelulusan keterangan sejenis; 5) Pesantren__sekolah-sekolah berbasis ilmu keagamaan yang tidak mengeluarkan surat tanda kelulusan, namun lebih pada menerapkan falsafah ‘meraih ilmu dan amalkan’__  Namun disayangkan, pesantren sekarang banyak yang sudah terbawa arus dan sekedar menjadi duplikasi dari sekolah-sekolah umum: menjiplak mentah-mentah kurikulum resmi, latah bikin jadwal, ruang kelas, dan ijazah. Bahkan juga ikut-kutan ‘gengsi’ bikin perguruan tinggi dengan iming-iming gelar akademis, lengkap dengan segenap upacara-upacaranya; 6) Sekolah-sekolah untuk tujuan praktissemisal Sekolah Tinggi Wiraswasta__ sekolah ini secara sadar dan sengaja menyatakan kepada para mahasiswanya tanpa perolehan ijazah atau gelar akademis apapun namun disiapkan hanya untuk satu tujuan yang tegar berwiraswasta: mampu mandiri dan berkarya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur (1979-1981). Sekolah-sekolah praktis itu yang oleh Roem dibandingkan dengan satir apa bedanya dengan  Sekolah Mengemudi, Sekolah Tanneke Burki, Taman Kakek-Nenek, ataupun Sekolah Srimulat_sekolah melucu atau melawak.

Bahasan contoh-contoh sekolah itu memunculkan definisi sekolah yang bermacam-macam,  Apakah sekolah itu sebuah bangunan? Apakah sebuah interaksi antara guru dan murid? Apakah sekolah itu suatu interaksi antar manusia dengan sistem atau tata laksana tertentu?

Roem lebih lanjut membongkar-ulang (redefinisi) makna sekolah dengan narasi-narasi yang disampaikan lucu dan kadang sengaka) Soal cara berpakaian atau seragam sekolah. Pada era pengawasan ketat, pelarangan keras, dan pemberian hukuman tegas (skorsing atau bahkan dipecat dari sekolah), pernah dikenakan pada banyak siswi SLTP dan SLTA yang memakai jilbab. Rangkaian peristiwa kontroversial ini menghangat dan dapat diikuti dalam banyak pemberitaan koran sepanjang tahun 1978-1983. Kejadian-kajadian itu  sungguh suatu tata aturan persekolahan yang tidak masuk akal, anak-anak sekolah yang masih penuh dengan mimpi-mimpi dunia remaja mereka jika bersekolah dengan pakai jilbab saja diributkan, dicurigai, bahkan dituduh sebagai oknum-oknum yang telah dipengaruhi oleh anasir-anasir Revolusi Iran-nya Ayatullah Rohullah Khomeini. “Bagi saya, sederhana saja: mau berseragam atau tidak, terserah! Buat saya, biarlah perkara ini jadi urusannya para perancang mode, toko busana, dan salon kecantikan. Ada apa pula urusannya dengan urusan sekolah?” (hal. 25) begitu tutur Roem.

  1. b) Sekolah & Perusahaan

Inilah kaidah ekonomi yang paling asas sampai saat ini. Sekolah, sebagai suatu wadah atau lembaga penyiapan sumberdaya manusia terlatih untuk masuk ke dalam mesin produksi ekonomi –sehingga, sekolah pun bisa juga dikiaskan sebagai pabrik atau perusahaan pengolah.  Persekolahan di Indonesia hingga kini selalu diwarnai  pembiayaan sekolah yang mahal, biaya kelulusan siswa, biaya kenaikan kelas, biaya pendaftaran  penerimaan murid baru, biaya pembangungan gedung, dan biaya lainnya.

  1. c) Sekolah Itu Candu

Mari mengingat berita kasus Angket Seks Remaja yang “mengkafirkan” Eko Sulistyo, di tahun 80-an, menjadi bukti sejarah  bagaimana anak-anak berbakat dan kreatif justru dipinggirkan oleh kelembagaan sekolah. “Kasus pemecatan Eko Sulistyo, seorang siswa SMA di Yogyakarta, bermula ketika anak itu mengumumkan hasil penelitian terbatas yang diprakarsai dan dilaksanakannya sendiri tentang pandangan kaum remaja seusianya mengenai kehidupan seksual, sehingga kasus itu juyga dikenal sebagai ‘Kasus Angket Sex Remaja’. Selama beberapa minggu, koran-koran Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, melaporkannya secara eksklusif. Lalu, terjadi banjir surat pembaca dan polemik pun berkembang. Dari semua tanggapan tersebut, terlihat bahwa masyarakat umumnya cenderung tidak bisa menerima keputusan pemecatan Eko. Alasan bahwa Eko melakukan penelitiannya tanpa izin resmi dari sekolahnya dan dari pejabat pendidikan setempat, dianggap sebagai alasan dicari-cari dan mengada-ada, bahkan makin memperlihatkan kelemahan dunia pendidikan nasional yang semakin birokratis dan serba formal, semakin tunduk dan diatur oleh kekuasan politik, bukan oleh kaidah-kaidah asas ilmiah dan akademis yang seharusnya. Karena itu, ketika Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) kala itu, yang memang dikenal gandrubng dan banyak mencetuskan gagasan membaharu tentang penanganan pendidikan bagi anak-anak berbakat, akhirnya menerima Eko seagai mahasiswa IPB tanpa perlu melalui ujian saringan masuk, banyak reaksi dari masyarakat menyatakan dukungan mereka dan menganggap keputusan itu jauh lebih tepat, berani, dan lebih mendidik. Maka heboh kasus ini pun segera mereda perlahan-lahandan kemudian dilupakan orang lagi.” (hal 90-91)

Sekolah Itu Candu

Candu yang dimaksudkan Roem, bukan sepenuhnya perkara kecanduan (addiction) yang ditimbulkan sekolah, melainkan juga keadaan mabuk dan delusional yang ditimbulkan candu itu sendiri. Sekolah sudah menjadi sebuah ketergantungan; sekolah yang tinggi itu keren dan dipuja-puji,  di lain sisi lulusan yang dihasilkan tidak otomotis mutlak menjadi pintar apalagi orang baik. Sekolah menjadi delusi kolektif; orang tua merasa telah memenuhi tanggungjawab pendidikan bagi anaknya apabila sudah mensekolahkan anaknya. Inilah refleksi penyadaran paling menohok pada buku ini.

Mari kita simak rumusan apa fungsi sekolah? Apapun istilahnya, semua orang akan menjawab sama: sekolah bertugas mendidik manusia untuk berwatak, berpengetahuan, dan berketrampilan. Hakikatnya, sekolah bertugas membentuk seseorang untuk menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya, yang seutuhnya, karena tiga matra pokok (watak, pengetahuan, ketrampilan) itulah yang menjadi matra khas kemanusiaan yang membedakan pribadi seseorang dengan makhluk lainnya.

Sekolah Sudah Mati!? Slogan ini ada dalam sub bab buku, dinarasikan dalam kejadian sehari-hari yang bisa dilihat dalam siaran-siaran di televisi, bagaimana kompetisi menjadi penyanyi idola ataupun kontes-kontes kecantikan (Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indoinesia, Miss World, Miss universe, dll) telah banyak menyumpal di banyak pikiran orang, bahwa menjadi ukuran sukses seseorang. Media massa baik surat kabar dan media elektronik begitu menggemborkan pernak-pernik fenomena ini__bahkan hingga kini. Kita bisa tengok, bukan saja ribuan penggemar telah berduyun bersorak mengelukan kedatangan kontestan Indonesia dari ajang Miss Universe, bahkan para pejabat pemerintah daerah, bupati hingga gubernur ikut riuh di dalamnya. Ini berbanding terbalik dengan peristiwa kepulangan anak-anak sekolah Indonesia dari ajang Olimpiade Internasional__  yang sepi pemberitaann apalagi keriuhan meski beberapa diantaranya meraih medali. Ya, sekolah telah mati, itu ungkapan tepat membandingkan fenomena ini.

Lembaga sekolah formal banyak melahirkan orang pintar, sarjana hingga profesor melimpah dihasilkan oleh lembaga sekolah. Tetapi, apakah sekolah membuat orang menjadi orang baik? Saya kira memang iya, namun tidak menjamin seutuhnya. Kasus kesaksisan dua akademisi Universitas Gadjah Mada, Eko Haryono dan Heru Hendrayana dalam sidang gugatan atas izin lingkungan pertambangan semen di PTUN, Semarang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu, bisa menjadi ilustrasinya. Kesaksian persidangan itu dituntut oleh warga Rembang karena dianggap melakukan kebohongan akademik dan sangat merugikan warga Pegunungan Kendeng. Buntutnya, kemarahan dan ketidakpuasan warga Pegununungan Kendeng pun diwujudkan dalam ‘grudug’ menuntut pertanggungjawaban UGM. Beberapa hari berselang setelahnya, kesaksian kedua akademisi itu oleh Tim Independen UGM dinyatakan: pertama, sebagai kesaksian yang mementingkan pihak korposasi PT Semen Indinesia, sebuah kesaksiak yang tidak netral dan tidak obyektif; dan kedua, Eko Haryono dan Heru Hendrayana akan mendapatkan sanksi administratif secara kelembagaan dari UGM. Berita selengkapnya simak, UGM Beri Sanksi Eko Haryono dan Heru Hendrayana – literasi.co.

Seperti yang ditulis pada sampul belakang buku, “Tak kurang dari dua belas tahun waktu yang dibutuhkan untuk bersekolah. Sungguh merupakan rentang waktu yang panjang dan bisa jadi sangat menjemukan. Apalagi jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain, dan yang paling sering sekaligus paling penting: mendengarkan guru berceramah di depan kelas. Lalu apa hasil dari duduk-duduk selama belasan tahun itu? Lewat sekolah, seseorang bisa saja mendapat penghormatan, namun seringkali juga mendapat cemoohan. Atau bahkan mendapatkan keduanya. Ya, sekolah memang mampu mencetak seorang anak manusia menjadi pejabat sekaligus penjahat!

Melalui buku ini, kita diajak untuk bertanya, “Masih pantaskah sekolah mengakui dirinya sebagai pemeran tunggal dalam mencerdaskan seseorang?” Pertanyaan ini ditujukan, terutama, kepada semua orang yang percaya akan keampuhan sebuah institusi bernama SEKOLAH.” Buku ini merupakan refleksi kritis mengenai lembaga pendidikan sekolah yang dinilai mengasingkan anak dari lingkungannya

Akhirnya, Roem menyimpulkan dalam bab “Sekolah Masa Depan”,  bahwa pembelajaran untuk menjadi orang berilmu dapat dilahirkan di ladang-ladang pertanian, siapapun bisa mengajar dan belajar. Di sanalah konklusi dari hakikat pendidikan yang dituturkan Roem, bahwa sekolah adalah kehidupan interaksi oleh dan siapa saja juga di mana saja, SETIAP TEMPAT adalah SEKOLAH, SETIAP ORANG adalah GURU,  SETIAP BUKU adalah ILMU.

Sekolah adalah kehidupan interaksi oleh dan siapa saja juga di mana saja, inilah pesan dan pelajaran penting yang bisa kita petik dari buku karya Roem Topatimasang.

Di pulau-pulau kecil-di Maluku, terutama di Ternate, Tidore, dan Lease (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusa Laut) saat musim panen. Saat itulah masa libur sekolah bagi anak-anak agar ikut membantu orang tua mereka. Dua anak kembar ini, murid SD Negeri Haruku, Lease, Maluku Tengah, membantu memungut bunga-bunga cengkeh yang tercecer di bawah pohon, kemudian melakukan ‘pata cengke’ (memisahkan bunga dan tangkai cengkeh) di rumah untuk dikeringkan.

Musim panen raya cengkeh di Maluku Tengah adalah masa pesta rakyat dengan berbagai acara syukuran dan kesenian tradisional. Bagi anak-anak kampung setempat, inilah masa terbaik bagi mereka untuk menikmati hiburan yang langka, menimba ilmu sistem pertanian cengkeh sekaligus melanjutkan dan memelihara tradisi. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *