Membaca bab pertama Madilog membuat saya agak tergelitik. Tan Malaka berbicara mengenai logika mistis dan logika ilmu pengetahuan. Dalam logika mistik, manusia diajak berpikir mengenai adanya benda karena roh. Pola berpikir yang didengungkan agama samawi dalam proses terjadinya kehidupan (Genesis), bahwa bumi dan seisinya adalah kreasi sang Pencipta Utama. Diciptakan dalam hitungan hari dan viola! Dunia pun jadi adanya.
Sementara dalam logika ilmu pengetahuan, roh, energi ada karena benda. Pola pikir sederhananya, listrik ada karena ada pembangkit listrik. Banyak penemuan ilmiah yang mengarahkan logika berfikir manusia pada fakta tersebut. Seperti teori energi yang tidak bisa hilang hanya berubah bentuk (Joule). Logika ini menghasilkan fakta bahwa penciptaan bumi membutuhkan waktu bermilyar-milyar tahun lamanya.
Maka disitulah kodrat manusia. Limbung antara percaya pada agama atau ilmu pengetahuan. Agama adalah paten, ilmu pengetahuan berkembang. Agama meyakinkan umatnya bahwa kita adalah anak Adam, ilmu pengetahuan menyampaikan fakta evolusi bahwa nenek moyang kita kemungkinan besar seekor kera. Mempercayai keduanya, seperti menyimpulkan bahwa Adam kemungkinan besar adalah kera, adalah sebuah pola berfikir oportunis mistis.
Berkembangnya ilmu pengetahuan menciptakan sebuah budaya bahwa sebuah pengetahuan harus di alih terimakan kepada generasi yang lebih muda. Maka lahirlah sekolah, universitas dan berbagai lembaga pendidikan. Jadi menurut saya, sebuah sekolah umum yang tujuannya adalah mengalih terimakan ilmu pengetahuan kepada muridnya, maka seharusnya sekolah tersebut tidak perlu mengajarkan agama yang pada beberapa titik justru memberikan logika berpikir yang berbeda.
Bayangkan seorang murid, panggil saja namanya Jono. Dia begitu ingin tahu tentang dari mana asal muasalnya bumi. Kebetulan hari itu jam pertama adalah pelajaran agama. Dengan penuh rasa ingin tahu, Jono bertanya pada gurunya: pak, dari mana asalnya bumi? Sang Guru menjawab: Tuhan yang menciptakan bumi dan seisinya. Kitab Kejadian menceritakannya bahwa Tuhan menciptakan bumi dan seisinya dalam tujuh hari. Tentu saja Guru itu benar. Literaturnya adalah Kitab Suci.
Tapi Jono belum puas akan jawaban tersebut. Tepat di jam pelajaran berikutnya adalah pelajaran Geografi. Sekali lagi Jono bertanya hal yang sama pada guru geografinya: pak, darimana asalnya bumi? Gurunya menjawab bahwa bermilyar tahun yang lalu, bumi dan matahari hanyalah sekumpulan awan gas dan debu kosmis yang pada satu titik mereka memadat membentuk zat masa yang berotasi. Sungguh sebuah jawaban yang sangat berbeda. Jono bingung.
***
SALAM, Sanggar Anak Alam adalah sebuah komunitas belajar di Jogja selatan. Sekilas, orang melihat SALAM sebagai sekolah alam. Tentu saja, karena bangunannya sendiri berdiri di tengah sawah. Anak-anak yang bersekolah di sana pun tampak begitu bebas. Dari penampilannya, anak-anak tersebut lebih menyerupai anak kampung sekitar: tidak berseragam, tidak pakai sepatu, kadang kalau sedang malas tidak bawa tas. Hanya seperti cah dolan.
Orang yang terlanjur tahu sejauh itu, akan berbondong mendaftarkan anaknya bersekolah di SALAM dengan semangat ke-alam-alam-an. Awalnya memang menyenangkan melihat anak-anak kita bermain dengan gembira, sampai akhirnya kita tahu bahwa SALAM tidak mengajarkan pelajaran agama. Beberapa orang tua yang religius akan menganggap hal tersebut sebuah kekurangan yang fatal, dan segera mencari alternatif sekolah dengan basis pendidikan agama yang kuat. Orang tua yang tidak begitu religius melakukan hal yang sama dengan pertimbangan: Jika (ilmu) agamaku tidak begitu kuat, lalu siapa yang akan mengajarkan (ilmu) agama itu pada anakku selain sekolah. Seketika, sekolah menjadi tumpuan harapan akan akhlak murid-muridnya.
Sebuah kesalahan terjadi di awal, yaitu ketika orang mengetahui kepanjangan SALAM: Sanggar Anak Alam, lalu serta merta memusatkan pemahamannya pada: Sanggar Alam, meluruhkan kata “anak”, mengabaikannya seperti kita orang dewasa sering begitu abai pula pada anak dalam arti yang lebih luas. Kalimat yang sering saya dengar: Anakku sekolah di sanggar alam, itu lho yang di tengah sawah. Tapi ternyata sanggar alam tidak mengajari agama. Selesai.
Tahukah Anda, kita sudah gagal fokus. Sekarang, terapkan ini: abaikan kata “sanggar”. Anggap saja itu hanya keterangan tempat. berfokuslah pada kata: Anak Alam. Anak kita, yang kita kandung 9 bulan, kita lahirkan dengan penuh daya, adalah sesungguhnya anak alam. Anak kehidupan. Kita hanyalah busur yang melontarkannya serupa anak panah. Apakah kita tahu apa yang akan terjadi padanya besok, lusa, atau 20 tahun lagi? Tidak. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sejak awal mula kelahirannya, tapi kadang sering lupa untuk kita lakukan adalah membiarkannya tumbuh secara alami.
Untuk itu segala pengetahuan yang nantinya ia dapatkan, ia dapatkan secara alami pula. Bukan dengan dikte, tapi lewat sebuah sumber segala sumber pengetahuan: rasa ingin tahu. Disinilah Salam hadir: sebagai sebuah sanggar tempat anak-anak tumbuh dengan alamiah, dan belajar tentang hal-hal baru yang sangat ingin ia ketahui.
Lalu bagaimana dengan pendidikan agama? Bagaimana jika anak ingin tahu tentang “Tuhan”nya? Bagaimana sekolah yang tidak mengajarkan agama menjelaskan tentang Tuhan?
Di SALAM, kelas berapapun, semua anak berdoa sebanyak 3 kali: di awal pelajaran untuk bersyukur atas hari yang cerah, di saat akan makan untuk bersyukur atas makanan yang terhidang dan di akhir pelajaran untuk mohon berkat pada perjalanan pulang. Tuhan tidak ditiadakan dalam proses belajar di SALAM. Tuhan tetap menjadi sumber segala berkat, arah panjatan segala syukur.
Bagi saya, agama bukanlah tentang literasi. Agama lebih kepada ketenteraman hati. Ketika saya bertanya tentang segala hal dan mencari muara dari segala sebab, maka disitulah akhirnya saya menemukan Tuhan sebagai sang Causa Prima. Sumber dari segala sumber penyebab. Pada satu titik, saya tidak lagi peduli pada literatur dan ritual. Saya hanya peduli pada kebenaran dan kebaikan. Dan jika saya telusur ke belakang, tidak banyak ketenteraman hati itu saya dapat dari pelajaran agama. Seluruhnya adalah pencarian pribadi.
Maka jika SALAM tidak mengajarkan agama dengan dalih pendidikan agama adalah tanggung jawab orangtua, maka dalih sederhana itu menentramkan saya. Karena jika nantinya seluruh pengetahuan anak saya dia dapatkan sendiri karena rasa ingin tahunya, maka SALAM sebagai sebuah sanggar belajar akan membimbing anak saya dalam satu logika berpikir saja, logika ilmu pengetahuan. Kecintaannya akan Tuhan akan tumbuh sendirinya karena kecintaannya pada kehidupan, bumi dan sesama.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply