Malam itu, udara dingin berhembus di dataran tinggi tak jauh dari perbatasan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung. Di kaki bukit, berdiri barak-barak yang kini difungsikan sebagai pusat pelatihan untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun 1921, Belanda membangun barak tersebut di lokasi dengan kontur yang memiliki kemiringan lebih dari 30 derajat. Kompleks barak dikelilingi perkebunan yang ditanami sayuran dan kayu keras. Malam hari suasana di sekeliling barak sunyi.
Kurang dari 20 menit perjalanan dari barak ke arah Semarang, terdapat pusat keramaian di dataran tinggi Bandungan, berbeda jauh dengan suasana barak yang sunyi. Bersama sekitar 60 anak petani tembakau usia SMA—para penerima beasiswa pendidikan untuk anak-anak petani dan buruh tembakau di Temanggung, kami belajar menulis. Kami menempati barak yang terletak persis di sebelah kiri setelah gerbang utama kompleks barak.
Kegiatan belajar kami tertunda cukup lama karena proyektor yang akan digunakan untuk penyampaian materi rusak, tidak bisa menyala. Faktor suhu udara sepertinya berpengaruh terhadap kinerja proyektor. Setelah satu jam tak kunjung berhasil memperbaiki proyektor, saya memutuskan menyampaikan materi menggunakan media kertas plano dan spidol.
Jagung rebus, kacang rebus, pisang rebus, teh hangat dan kopi hangat menjadi kudapan kami di sela kegiatan belajar menulis. Di kejauhan, dengan bantuan sinar matahari yang dipantulkan bulan ke bumi pada malam hari, samar-samar terlihat Gunung Sumbing menjulang. Semua serba hitam, kecuali titik-titik kecil bercahaya yang asalnya dari lampu-lampu jalan dan permukiman penduduk dan kendaraan yang melintas di jalan berliku khas jalan-jalan di wilayah dataran tinggi.
Selain kami, hari itu ada juga yang menggunakan kompleks barak untuk kegiatan mereka, puluhan anak yang duduk di kelas tiga SMP bersama guru-guru mereka. Pada pagi harinya, ketika saya bersama rombongan dari Temanggung tiba di lokasi, anak-anak SMP tersebut sedang asyik baris-berbaris dan berlatih kedisiplinan. Ketika saya tanya apa tujuan anak-anak itu dikirim beberapa hari ke barak militer untuk berlatih bermacam hal yang menguras energi padahal kurang dari sepekan lagi mereka akan melaksanakan ujian nasional, saya mendapat jawaban yang bagi saya cukup mengejutkan. Semua latihan itu tujuannya agar anak-anak bisa sukses mengerjakan ujian nasional yang pekan depan akan mereka kerjakan.
Saat materi tentang kepenulisan sudah selesai saya paparkan, kemudian para peserta belajar mengerjakan tugas menulis yang saya berikan, saya keluar dari barak untuk menghirup udara segar. Gelap kian menjadi, suasana sunyi semakin terasa, udara dingin berhembus menerpa tubuh, bagian tubuh yang tak tertutup sehelai kain merasakan dingin lebih, sebabkan tubuh bergetar dan menggigil.
Di sebuah lapangan luas berlantai beton yang terletak tepat di sebelah barat barak tempat kami belajar menulis, puluhan anak SMP itu berbaris rapi dalam diam. Beberapa rekan saya yang menyaksikan barisan itu dari kejauhan, khusyuk memperhatikan adegan dalam diam. Seorang pria bertubuh tegap berseragam loreng hilir mudik di lapangan menyisir barisan. Ada satu barisan khusus yang diisi anak-anak laki-laki yang ditempatkan tepat di barisan utama, menghadap ke barisan utama. Mereka saling berhadap-hadapan. Saya menduga mereka dianggap sebagai pesakitan yang sedang dihukum di tengah lapangan.
Saya tidak sempat menghitung jumlah anak-anak yang dipisahkan dari barisan utama ini, tetapi melihat panjangnya barisan dari kejauhan, saya menduga jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Dugaan saya benar. Salah seorang rekan saya menginformasikan bahwa mereka yang dipisahkan dari barisan itu adalah anak-anak yang sedang diberi hukuman.
Semua terdiam, semua sunyi, hanya pria bertubuh tegap berseragam loreng itu saja yang bersuara, seringkali begitu keras dan membentak. Selain membentak, pria itu beberapa kali juga melayangkan tamparan-tamparan kepada anak-anak yang dianggap pesakitan itu. Guru-guru mereka yang menyaksikan adegan itu hanya diam sembari asyik menyaksikan, menjadi legitimasi bahwa mereka setuju saja dengan apa yang diterima oleh murid-murid mereka. Saya kemudian mencari tahu apa sebab semua ini terjadi. Jadi kira-kira, begini penyebabnya:
Kompleks barak itu dianggap angker. Ada beberapa pantangan yang jika dilakukan akan menyebabkan para penghuni gaib kompleks barak marah. Salah satu pantangannya adalah dilarang mandi dengan menceburkan diri ke kolam luas yang terletak di ujung sisi barat kompleks. Beberapa anak SMP ini penasaran dan ingin membuktikan, mereka kemudian menceburkan diri ke kolam itu. Aman, tak terjadi apa-apa. Hingga pada malam harinya seorang guru kesurupan. Anak-anak yang menceburkan diri di kolam menjadi tertuduh penyebab salah seorang gurunya kesurupan. Maka, seakan tidak berdaya, mereka harus mendapat hukuman.
Kejadian semakin diperparah dengan kasus lain yang terjadi di hari yang sama. Beberapa anak lain kedapatan merokok di barak. Barisan yang dianggap pesakitan semakin bertambah panjang. Selain bentakan dan tamparan, mereka yang kedapatan merokok mendapat hukuman tambahan: merokok di tengah lapangan, di muka umum dengan kedua tangan terlipat di belakang tubuh, persis seperti posisi istirahat di tempat saat upacara bendera.
Saya enggan melihat lebih lama adegan-adegan di lapangan itu. Saya kembali masuk ruangan untuk menemui rekan-rekan saya yang sedang asyik menulis. Akan tetapi, kejadian-kejadian di lapangan yang saya saksikan terus menghantui kepala saya. Terus begitu hingga kegiatan belajar kami usai dan saya kembali ke Yogya. Dalam perjalanan kembali ke Yogya, dan hingga siang ini saat saya menuliskannya, kejadian-kejadian itu terus membekas di kepala saya.
Mari kita singkirkan kasus hukuman untuk anak-anak yang kedapatan merokok, meskipun saya sama sekali tidak setuju dengan bentuk hukumannya. Saya tidak mengerti perkara gaib, namun saya menghormati mereka yang mengerti dan meyakini itu. Tetapi, untuk kasus yang saya ceritakan di atas, apakah layak menyalahkan murid-murid dan menghukum mereka dengan begitu kerasnya untuk sesuatu yang tidak seorang pun bisa memastikan siapa yang sesungguhnya bersalah. Jika kita meyakini perkara gaib dan percaya bahwa kesurupan itu memang ada karena pengaruh gaib, apa bisa dengan serta-merta begitu saja menyalahkan murid-murid karena ada seorang guru yang kesurupan?
Lebih dari itu, dari sekian banyak guru yang hadir di sana, semua bersepakat dan merestui hukuman yang diberikan kepada murid-murid mereka. Ini aneh dan ganjil. Sekali lagi saya membuktikan dan melihat dengan kedua mata saya sendiri akan apa yang diungkapkan Ivan Illich dalam Deschooling Society. Bahwa guru tak pernah salah dan sumber segala pengetahuan bagi murid-muridnya. Sebaliknya, murid-murid dianggap tak tahu apa-apa, pasif penurut, mesti menurut apa kata guru. Proses dehumanisasi dalam wadah bernama sekolah masih terjadi dan terus terjadi. Pada titik ini, dalam adegan-adegan yang saya saksikan langsung baru-baru ini, proses dehumanisasi dalam lembaga bernama sekolah mendapat dukungan penuh dan peran aktif sebuah institusi bernama tentara. Lengkap sudah.
Yang perlu diingat, dikirimnya anak-anak kelas 3 SMP itu ke barak-barak tentara memiliki tujuan agar anak-anak bisa sukses mengerjakan ujian nasional mereka sepekan lagi. Ingat, sepekan lagi. Dengan kejadian yang menimpa mereka seperti yang saya tuliskan di atas, saya yakin, sangat yakin, bukan pembekalan positif yang begitu menguras fisik mereka yang akan mereka ingat dan menjadi bekal baik untuk menghadapi ujian nasional. Yang akan membekas dalam ingatan mereka, saat mengerjakan ujian nasional, dan hingga beberapa tahun ke depan adalah bentakan-bentakan dan tamparan-tamparan yang menghantam wajah mereka. Ini jelas akan menimbulkan trauma, teror dan ketakutan, baik bagi anak-anak yang dianggap pesakitan dan harus menerima hukuman keras, juga bagi rekan-rekan mereka yang berbaris rapi di lapangan dan menyaksikan adegan-adegan yang menimpa teman-temannya itu.
Kemudian, saat akhirnya pekan depan mereka mengerjakan ujian nasional, lalu gagal setelah pengumuman keluar, lagi-lagi anak-anak itulah yang akan disalahkan. Mereka akan menerima penghakiman sebagai anak bodoh dan nakal dari para guru, dan lingkungan sekitar mereka. Sungguh, betapa mengerikan sistem pendidikan yang dibangun lewat lembaga bernama sekolah. Tidak semua memang, dan tidak bisa digeneralisir. Akan tetapi, proses dehumanisasi di sekolah-sekolah, dengan sepenuh hati saya meyakininya, masih terus terjadi di mayoritas sekolah yang ada di negeri ini. []
Sukarelawan di SOKOLA, lembaga yang bergerak untuk memfasilitasi pendidikan bagi komunitas masyarakat adat di Indonesia.
Leave a Reply