Ivan Illich, sang pemikir cemerlang, menawarkan atas apa yang ia sebut dehumanisasi di ruang. Yaitu demokrasi dalam memperoleh pendidikan dalam sistem pembelajaran, dan dalam pengembangan kurikulum. Wacana revolusionernya yang kelewat nyeleneh tak disambut tumbuhnya pengikut.
MENGAPA sekolah dianggap dan diyakini sebagai sarana satu-satunya dalam mencari ilmu pengetahuan? Mengapa sekolah yang jumlahnya sedemikian menjamur dianggap sebagai jalan hidup bagi manusia modern? Mengapa mereka yang tidak sekolah berarti mereka dianggap terbelakang? Benar bahwa pendidikan merupakan upaya mulia dalam rangka memupus kebodohan dan memanusiakan manusia. Benar pula Imanuel Kant ketika menyebut, manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan.Atas nama pembangunan dan perkembangan anak didik, benarkan sekolah merupakan wahana tunggal? Bukankah sekolah telah bergeser dari nilai-nilai keluhurannya tatkala ia menjadi ruang komoditi, pengetahuan dikemas-kemas dan dijajakan? Bukankah sekolah telah jadi tempat dehumanisasi—proses penurunan martabat manusia? Itu di antara kritik radikal Ivan Illich (1926-2002) yang meyakini tujuan pendidikan secara ontologis telah menjauh dari harapan.
Ivan sulit memaafkan menyaksikan guru menjadi subyek aktif, dan anak didik adalah obyek pasif yang penurut. Ivan tak sudi melihat pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberikan informasi yang harus ditelan, serta wajib diingat dan dihafalkan. Profesor tamu di Gottingen dan Berlin, Jerman, pada 1981 dan di akhir tahun 1982 pengajar di Berkeley, California, Amerika Serikat, memang revolusioner. Dilahirkan di Wina pada tahun 1926, dia tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan ide-ide pembebasannya tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai pemikir “humanis radikal”.
Menurut Illich sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai tiga tujuan, yaitu: Satu, pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat. Kedua, pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya. Ketiga, menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.
Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan, mau tidak mau, akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini. Bangunan pendidikan demokratis yang ditawarkannya: Demokrasi dalam memperoleh pendidikan; Demokrasi dalam sistem pembelajaran; dan Demokrasi dalam pengembangan kurikulum.
Ivan Illich adalah pribadi yang langka, memiliki kegembiraan yang besar, wawasan luas, dan daya cipta yang subur. Seluruh pemikirannya didasarkan pada perhatiannya terhadap penyempurnaan manusia secara fisik, rohaniah, dan intelektual. Mudah dipahami jika ia datang dengan kritik keras atas model pendidikan yang dikembangkan di sekolah-sekolah di Amerika Latin yang dia cermati.
Hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu sebagaimana yang diharap Illich di atas sejalan dengan Islam. Islam mewajibkan hambanya untuk menuntut ilmu tholabul ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin (menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim laki-laki ataupun perempuan).
Pemikiran restorasi pendidikan Ivan Illich tertuang dalam bukunya yang kontroversial, “Deschooling Society” (Masyarakat tanpa sekolah). Ia mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah. Sekolah di mata Illich tak ubahnya ibarat jalan tol. Mereka mampu membayar akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, mereka tidak punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah.
Pendidikan di sekolah dewasa ini yang dinilai sebagai sistem yang mengasingkan peserta didik terhadap lingkungan di sekitarnya.yang menyebabkan manusia terasing dari dunia nyata. Dalam posisi sekolah sebagai proses institusionalisasi, proses yang sering menghancurkan diri dan kapasitas diri individu dalam memecahkan persoalan, sebuah proses yang laksana kanker yang membunuh kreativitas masyarakat.
Kritiknya yang kedua terhadap para ahli dan keahlian yang dihasilkan lembaga pendidikan formal,mereka dinilai banyak memberikan kerusakan dari pada manfaat bagi masyarakat. sebagai contoh mereka menganalisa situasi politik sekaligus mengambil keuntungan dari situasi tersebut, mereka mengontrol produksi informasi dan menentukan mana yang valid dan mana yang tidak.
Kritik lain Illich, dia mengkritisi para profesional dan institusi yang ikut terlibat dalam lembaga institusi pendidikan yang menjadikan proses belajar sebagai komoditas. untuk mengambil keuntungan produksi informasi mereka kapitalisasikan, distribusinya mereka batasi dan harganya mereka tentukan.
Padahal, tujuan pendidikan bagi Illich adalah kebebasan dalam berfikir, sehingga menimbulkan daya kreativitas anak. Dalam hal ini Ivan Illich seakan mengesampingkan etika dalam pendidikan, padahal keduanya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Gagasan pendidikan demokrasi yang ditawarkannya memang hanya terbatas pada demokrasi dalam memperoleh pendidikan.
Gagasannya untuk mendekonstruksi persekolahan bagi sebagian kalangan adalah sebuah hal yang utopis, karena semakin menjamurnya sekolah saat ini dan saat ini sekolah menjadi jalan hidup bagi masyarakt post-modern. Keempat : Gagasannya untuk membangun alternatif persekolahan agak sedikit kabur dalam hal konsep.
Ivan Illich memang berbeda dengan beberapa pemikir pendidikan lainnya seperti Paulo Freire. Ivan dianggap bukan sebagai pemikir yang memiliki massa (baca: pengikut) seperti layaknya Freire. Pemikiran-pemikiran Freire diikuti oleh banyak orang dikarenakan mempunyai target yang jelas, yaitu kaum tertindas (proletar dalam bahasa Marx) yang termarjinalkan oleh praktek pendidikan yang memang tidak adil lagi sangat menindas.
Eksperimen Tanpa SOP
Melucuti kemapanan sekolah adalah tujuan awal dan gagasan pokok yang kemudian dituangkan dalam tulisan-tulisannya. Sekolah tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagipula diskriminatif. Sekolah menjadi lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik dan memperkurus kemanusiaan (dehumanisasi – meminjam istilah Freire). Sekolah hanya merupakan lembaga yang mereproduksi ideologi-ideologi kapitalis-konsumeristik. Tesis Illich ini bisa dibenarkan ketika dikaitkan dengan fenomena adanya kekuatan politik yang menunggangi pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah merupakan praksis yang tidak sebangun dengan pendidikan itu sendiri. Illich menggedor kesadaran masyarakat untuk segera melakukan revolusi budaya, yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan masyarakat. Ivan Illich coba membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah paling tidak bisa membuat masyarakat sadar, bahwa ilmu tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah.
Illich menyoroti legitimasi yang diberikan sekolah terhadap keterampilan yang dimiliki oleh seseorang setelah lulus dari sekolah. Masyarakat, katanya, telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang. Dunia pendidikan Indonesia bak lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta semua guru harus bersertifikasi dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan tinggi, masyarakat pun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi “pemasok” guru bersertifikat (lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali juga dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan lulusan yang setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru. Lulusan bersertfikat pun ternyata juga belum tentu memiliki kompetensi.
Eksperimentasi Ivan Illich, sebagaimana dikecam Postman, adalah seorang totalis, bukan seorang eksperimentalis. Ia seorang perumus suatu keadaan paripurna, tapi tidak berbicara bagaimana utopia itu ditaklukkan dengan selamat dari keterperangkapan mitos paradigma masa kini. Padahal, tanpa juklak yang jelas dan layak tempuh, otoritas kita kelewat ringkih untuk berbicara tentang jutaan anak yang harus menyongsong masa depan. []
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply