Blog

Pendidikan Indonesia dalam Perspektif Roem Topatimasang*

Saat ini, sekolah seakan telah bergeser dari hakikatnya. Pada awalnya, sekolah tidak memiliki tempat yang tetap dan bisa digelar oleh siapapun. Namun, sekolah telah menjadi institusi resmi yang memiliki aturan sendiri dan seakan menjadi keharusan bagi siapa saja. Padahal, sekolah tidak dapat menjadi tolok ukur kecerdasan dan kesuksesan seseorang. Jika demikian, masih bisakah sekolah dikatakan sebagai satu-satunya sarana untuk mencerdaskan seseorang? Itulah yang menjadi keresahan Roem Topatimasang dalam salah satu bukunya, Sekolah itu Candu.

Foto: doc.picklock

Roem, yang saat ini menghabiskan masa senjanya dengan menjadi penulis dan penerjemah buku, pernah melakukan beberapa eksperimen pendidikan kritis di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Setelah itu, ia mengasingkan diri di Indonesia Timur dan menciptakan pendidikan alternatif. Melalui program-program pendidikan kerakyatan inilah, ia mencoba memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia.

Ditemui di kediamannya yang terletak di lereng Gunung Merapi, Tim Balairung berkesempatan berbincang dengan Roem yang sempat menjadi mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung. Selepas azan magrib berkumandang, beliau menceritakan gagasannya terhadap pendidikan di Indonesia. Berikut petikan pembicaraan yang dihidangkan dalam senja dan ditemani oleh secangkir teh hangat.

Apa yang membuat Anda tergerak untuk menggeluti pendidikan kerakyatan? Bagaimana awal mulanya?

Aktivitas saya dalam dunia pendidikan berawal dari keresahan bahwa ada yang salah dengan dunia pendidikan kita. Kemudian, kami melakukan eksperimen dengan beberapa teman. Eksperimen pertama dilakukan di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. Kami membuat satu program selama satu bulan untuk santri aliah tingkat tiga yang akan menyelesaikan studinya.

Metode pengajaran seperti apa yang anda terapkan dalam eksperimen tersebut?

Jadi kami ubah cara berpikir para santri dengan beberapa pertanyaan dasar dan pengamatan lapangan. Contohnya adalah ketika kami pergi ke suatu tempat untuk melakukan pengamatan lapangan. Saya memancing mereka dengan pertanyaan mudah, seperti apa saja yang kalian gunakan untuk mengamati? Jawaban yang muncul adalah mata dan telinga. Lalu saya bertanya lagi, berapa jumlah panca indera yang kalian miliki? Mengapa hanya dua yang kalian gunakan?

Dari situ, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya banyak fakta yang bisa kita ketahui tidak hanya lewat mata dan telinga. Semua panca indera bisa digunakan untuk menangkap fakta. Dengan menggunakan semua panca indera, kepekaan kita akan terbangun. Sehingga, kita akan mendapatkan lebih banyak fakta di lapangan. Proses tersebut tidak ada di pendidikan formal, termasuk melatih indera keenam atau intuisi.

Karena ketiadaan itu, anak-anak zaman sekarang tidak saling memberi kesempatan berbicara. Maksudnya, tiap orang membawa ego besar dalam percakapan dan tidak menyimak satu sama lain. Itulah yang menyebabkan kedangkalan pikiran. Jika antar orang saling mendengarkan, maka akan muncul empati yang dapat mendidik dan melatih kepekaan terhadap orang lain. Nah, kebiasaan inilah yang sudah hilang.

Apakah hal tersebut terjadi karena perkembangan zaman? Ataukah sudah ada sejak dahulu tetapi belum terlihat seperti saat ini?

Sebenarnya hal ini disebabkan oleh banyak hal. Sebab yang paling mendasar adalah pikiran bahwa pendidikan bertujuan untuk menjadikan seseorang seperti keinginan khalayak umum. Akibatnya, apa yang dianggap baik untuk kita akan baik pula untuk orang lain, padahal belum tentu begitu. Misalnya, ukuran sopan dan tidak sopan itu ukuran dari siapa? Sopan di Jawa belum tentu sopan di Papua.

Anak Papua dan Maluku diajarkan sopan santun versi Jawa karena kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Jawa. Saya tidak bermaksud mengatakan yang di Jawa itu salah. Tetapi lokalitas jangan diajarkan menjadi nilai universal bagi orang di tempat lain. Intinya itu bagaimana mendidik dengan memahami dirinya yang nyata. Hanya dengan begitu, orang bisa membangun citra dirinya.

Lantas, apakah bisa dikatakan bahwa pendidikan formal kita tidak universal?

Universal itu apa?

Bisa diterapkan pada semua daerah?

Itu pengertian yang salah. Pendidikan dapat disebut universal apabila hanya memuat ilmu secara umum seperti ilmu pengetahuan alam, matematika, ilmu sosial, dan bahasa. Kebutuhan pendidikan di Papua tentu berbeda dengan di Jakarta, begitu pula sebaliknya. Apabila hanya mengandalkan kesamaan dalam pemerataan pendidikan, diskriminasi akan muncul dalam ranah pendidikan.

Oleh karena itu, hadirlah universitas sebagai tempat di mana orang bisa belajar apa saja tanpa sekat. Universitas itu sebenarnya dibangun untuk memfasilitasi orang belajar, bukan dikotak-kotakkan. Disiplin ilmu yang dibagi-bagi itu hanya untuk administrasi saja. Dengan demikian kehadiran universitas mampu menjadi wadah bagi setiap orang untuk mengenal lintas disiplin ilmu.

Apakah secara tidak langsung itu berarti sejak dulu sudah terjadi kesalahan dalam sistem pendidikan formal di Indonesia?

Bisa dikatakan demikian. Sekolah-sekolah kita merupakan warisan kolonial, di dalam kolonialisasi tersebut terkandung unsur diskriminasi. Dulu, ada sekolah yang hanya bisa diakses oleh kalangan bumiputra, misalnya Sekolah Ongko Loro untuk anak petani. Lalu, ada Hollandsch-Inlandsche School, sebuah sekolah Belanda yang dikhususkan untuk kalangan bangsawan. Memang tidak ada ketentuan tertulis tentang penempatan orang berdasarkan status sosialnya. Ini adalah sebuah sistem yang menimbulkan pelapisan sosial dalam masyarakat.

Lalu, bagaimana keadaan pendidikan di Indonesia saat ini yang sudah terlepas dari kolonialisasi, khususnya di Indonesia Timur?

Saya tidak mengetahui secara pasti keadaan di Indonesia Timur karena telah lama tidak mengakses. Namun, tetap terjadi kesalahan sistem yang ditunjukkan dengan adanya diskriminasi. Hal ini tercermin dari penyelenggaraan Ujian Nasional yang terlihat sebagai pemisah wawasan yang begitu curam antara anak Jakarta dengan Papua. Dimulai dari kecuraman inilah, mobilitas sosial terhambat dan kesempatan bagi munculnya diskriminasi juga semakin besar. Sebenarnya, diskriminasi dapat diminimalisasi jika memperhitungkan kekhasan daerah dan lokalitas dalam menjaga nilai kearifan lokal. Hal tersebut patut diapresiasi dan diwujudkan dalam edukasi setempat yang mengutamakan prinsip kerakyatan.

“Penyelenggaraan Ujian Nasional terlihat sebagai pemisah wawasan yang begitu curam antara anak Jakarta dengan Papua. Dimulai dari kecuraman inilah, mobilitas sosial terhambat dan kesempatan bagi munculnya diskriminasi juga semakin besar. Sebenarnya, diskriminasi dapat diminimalisasi jika memperhitungkan kekhasan daerah dan lokalitas dalam menjaga nilai kearifan lokal. Hal tersebut patut diwujudkan dalam edukasi setempat yang mengutamakan prinsip kerakyatan.”

Bagaimana Anda memandang upaya mahasiswa dari luar Pulau Jawa yang belajar ke daerah pusat studi, seperti Yogyakarta? Apakah hal ini berkaitan dengan kebijakan yang dirancang oleh pemerintah?

Wajar saja jika orang Papua, Maluku, dan beberapa daerah lainnya ingin belajar ke daerah pusat studi. Lagipula sistemnya sudah dibuat seperti itu, lembaga pendidikan yang lengkap dibangun di tempat-tempat tertentu. Namun, yang perlu dikritik dan dipertanyakan adalah mengapa pemerintah tidak membuat universitas bermutu di pedalaman Papua seperti yang ada di daerah pusat studi. Itu lebih baik daripada harus mengalokasikan banyak sekali dana untuk memberangkatkan satu orang. Ini merupakan masalah kompleks dengan masing-masing kepentingan di dalamnya. Maka dari itu, tidak heran jika banyak mahasiswa merantau jauh-jauh, orang tempat pendidikan bagus saja tidak dibuat di sana! [Pam]

*Sumber: Majalah BALAIRUNG  EDISI 53/TH. XXXII/2017,

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *