Blog

Sekolah ala Tan Malaka

BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di antara permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana, pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah kampung. Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang kian lama kian renta dimakan usia.

Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat Islam cabang Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat Islam yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota Semarang.

Kurikulum yang progresif

Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs (pendidikan, Red.).

Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.” Demi tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka menyusun kurikulum pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada waktu itu.

Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan kurikulum sekolahnya, pertama yakni memberi senjata cukup buat pencari penghidupan dan dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb); kedua, memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan (vereeniging); ketiga, menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, Red.).

Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah pengajaran bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur bahasa Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi yang mengenyam pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda.

Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan kepada siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya (cerdas, Red.) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, Red.) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.”

Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi anak-anak didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak untuk merasakan kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan orangtua mereka yang harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya.

Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta murid-muridnya untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang supaya bisa menyaksikan dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik.

Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan dan kemauan “hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”

[Bonnie Triyana]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *