“Yas, SALAM itu sekolah alam kan ya?”
“Hmmmm, bukan”
“Nah trus sekolah apa?”
“Sekolah biasa saja. Yang sekolah di situ anak alam”
“Anak alam gimana?”
“Hmmmmm gimana ya, susah neranginnya”
Pertanyaan itu sudah puluhan kali saya dengar dari beberapa teman-teman saya yang mengamati “pergerakan” saya di media sosial. Dan sejujurnya saya juga masih bingung menjawab definisi “anak alam” itu seperti apa. Sampai kemudian saya punya sebuah cerita…
Siang itu saya sedang berdiskusi di kelas dengan teman-teman kecil kelas 4. Di tengah-tengah diskusi, Sadat memotong perbincangan kami,
“Mbak, hati-hati ya, ada tawon di belakangnya Mbak Tyas”
Tentu saja saya terkejut dan sejujurnya amat takut. Puluhan tahun lalu saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar saya pernah punya pengalaman tidak menyenangkan dengan makhluk ciptaan Tuhan bernama tawon. Saya belum berani bergerak, kemudian meminta anak-anak untuk melihat pergerakan si tawon itu.
“Waduh, Mbak! Tawonnya sudah nggak ada eeeeee”
Deg! Ya Tuhan, jangan-jangan… Saya semakin takut dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Mbak Tyas harus ngapain?”, tanya saya takut-takut tapi berusaha tetap tenang.
“Mbak Tyas pindah dulu duduknya, tapi pelan-pelan aja ya”, kata seorang anak.
“Iya Mbak, pelan-pelan ya, siapa tahu tawonnya ada di bawah pantat Mbak Tyas”, kata yang lainnya.
Duhhhhh Gusti, cobaan apa ini. Tapi baiklah, saya mencoba tenang dan mengikuti setiap petunjuk yang diberikan teman-teman kecil saya ini.
“Loh Mbak, tawonnya nggak ada. Kayaknya masuk ke bajunya mbak Tyas deh ini”
Hoaaaaaaaaaaaaa, saya pingin teriak ketakutan, tapi saya tahan.
“Haaaahhh, trus Mbak Tyas harus gimana?”, tanya saya.
“Geraknya pelan-pelan aja ya Mbak. Kerasa ada yang nggremet nggak di badannya Mbak Tyas?”
“Haduuuuh iya, ini nggremet ke atas, kayaknya ke punggung kanan deh!”
Mereka kemudian mengamati punggung saya. Saya rasanya pingin pingsan saja. Tapi saya diam-diam kagum akan ketenangan anak-anak ini menghadapi situasi yang sedang saya alami. Seorang anak mencoba memegang tawon tersebut dari luar (memegang baju saya), tapi anak yang lain mencegah,
“Tawonnya jangan sampai kaget loh. Nanti kalau kaget, dia ngentup (menyengat).”
Akhirnya dia urung memegang tawon.
“Sekarang tawonnya di mana Mbak?”
“Hmmmm, kayaknya pindah ke bawah deh…”
Saya makin deg-degan. Si Ichsan, partner saya di kelas, tak banyak membantu. Mungkin juga karena bingung mau berbuat apa, hla wong si tawon masuk ke dalam baju saya, hahahaha.
“Mbak Tyas, coba bajunya dilonggarin, siapa tahu tawonnya mau keluar”, pinta seorang anak.
Saya beruntung, hari itu menggunakan blouse batik yang cukup longgar, sehingga saya bisa mengikuti petunjuknya.
“Pelan-pelan aja ya, Mbak. Jangan sampai tawonnya kaget. Tawonnya masih jalan, Mbak?”
“Hmmmm kayaknya iya”, jawab saya pelan-pelan saking takutnya bergerak.
“Ke mana Mbak?”
“Kayaknya sekarang ke atas”
Anak itu kemudian pelan-pelan sekali melonggarkan baju saya di bagian tengkuk. Tangannya berusaha menuntun tawon yang menempel di tubuh saya untuk bergerak ke atas. Saya memejamkan mata. Pasrah, seandainya harus disengat ya sudahlah.
Barangkali Tuhan tidak menegakan saya disengat. Karena kena debu saja kulit saya kadang-kadang sudah bengkak. Apalah jadinya kalau disengat, mungkin akan jadi sebesar bakpao Setya Novanto. Tawon itu mulai bergerak naik dan naik sampai akhirnya kepalanya muncul keluar dari krah baju saya. Dengan sigap anak-anak menyingkirkan tawon tersebut segera. Berhasil!!!! Hoooooaaaaaaaaaa, rasanya benar-benar lega!
“Loh tawonnya mana?”
“Itu mbak, di bawah meja”
Seorang anak berusaha “mengejar” tawon tersebut, tapi diingatkan temannya,
“Jangan dibunuh ya”
Anak-anak yang lain kemudian mencari kaleng untuk mengurung tawon sementara waktu. Mereka juga mencari hardboard, katanya,
“Kita lepas lagi tawonnya ke sawah yuk”
Saya diam-diam takjub. Ohhhhh, ini rupanya yang dimaksud “anak alam”. Anak-anak yang tumbuh tidak terpisahkan dengan alamnya, sebaliknya bersahabat dengan bumi dan seluruh isinya. Terimakasih untuk pelajaran berharga ini, Semesta!
Relawan SALAM Yogyakarta
Leave a Reply