Cobalah dengarkan intro gitar Tonny Koeswoyo di lagu “Kasih Sayang”. Selidiki waktu kapan ia dikarang. Bandingkan dengan intro gitar “Stairway to Heaven” Led Zeppelin. Kita jangan terlalu rendah diri lah sebagai bangsa. Memang beda kasusnya dibanding lagu “Panon Hideung” dengan “Ochi Chernye”, “Cucak Rowo” dengan “She’ll Be Coming”, “Hotarubi no Mori e” dengan “Sayang”, atau “Sang Surya” dengan “A’thiny-Naya wa Ghanny”-nya Fairuz Lebanon. Bangsa Indonesia perlu mulai menghormati dirinya sendiri.
Sepeninggal Tonny, Yon dan Murry, hari ini kita masih punya Nomo dan Yok. Kalau Anda jumpa dan mengobrol dengan mereka, Anda harus telatèn mengenyam-ngenyam Indonesia serta merasakannya sampai ke lubuk hati. Indonesia, rakyatnya, tanah airnya, sangat memenuhi hati mereka.
Ketika ngopi bareng mereka, jangan tunggu Nomo atau Yok akan pernah bicara tentang diri mereka, tentang karier, Koes Bersaudara dan Koes Plus, jasa-jasa atau kehebatan mereka. Bahkan kalau Anda teliti, para Koes yang integritas batiniah mereka di hati ratusan juta rakyat benar-benar tak tertandingi oleh siapapun lainnya—sesudah mereka tinggal 60-an tahun di Metropolitan Jakarta Raya: tidak satu anasir pun dari ucapan mereka yang berubah dari dialek Tuban dan jiwa Jawa Timurnya. Mereka tetap anak-anak dusun Sendangharjo sampai ke Akhirat.
Sungguh beruntung mereka mau berkenalan dan bersaudara dengan saya. Sebab pada kehidupan mereka, Tuhan mempertunjukkan betapa Maha Kreatif, Maha Kaya dan Maha Aneh-nya Allah Swt itu. Sambil menguraikan kepada saya tentang “Sastro Gumelar”, bacaan alam semesta, wacana jagat raya, fil afaqi wa fi anfusikum—Mas Yok kasih saya rekaman lagu karyanya yang tak ada di Album Koes manapun. Suara Mas Yok sangat lembut, ia Bassist, tetapi di lagu itu ia bermain gitar efisien, minimalis, tidak berbunga-bunga dan berumbai-rumbai sebagaimana banyak musik yang mengindah-indahkan dan mencanggih-canggihkan diri.
Dengan nama Allah /Yang Maha Pengasih /Lagi dan Penyayang /Segala puji bagi Allah /Tuhan semesta alam
Yang Maha Pengasih /Lagi Maha Penyayang /Yang menguasai /Hari pembalasan
Hanya Engkaulah /Yang kami sembah /Dan hanya kepada Engkaulah /Kami mohon pertolongan
Tunjukilah kami /Jalan yang lurus /Jalan orang-orang /Yang telah Engkau beri nikmat /Bukan mereka yang dimurkai
Kerumunan orang-orang di sana sini berdebat tentang apa agama Yok, tanpa terlebih dahulu menyepakati pijakan metodologis dan analisisnya tentang apa yang mereka maksud dengan Agama. Mas Yok, yang dengan bergurau selalu saya gelari Begawan Koesyoko, tidak menjelaskan apapun kepada saya tentang dirinya. Ia hanya memberikan rekaman lagu “Al-Fatihah”-nya itu.
Lain lagi kakaknya, Begawan Koesnomo, Panembahan Pangurakan yang liar dan sangat energetik. KiaiKanjeng pertama mengiringi Mas Nomo di malam Ulang Tahun Kabupaten Tuban, yang setiap tahun meminta KiaiKanjeng. Ia hampir 80 tahun. Benar-benar tidak saya sangka ia masih berteriak melengking, melompat-lompat di seantero panggung, bahkan menerobos menemui bagian-bagian tertentu dari penonton.
Ning ngendi-ngendi wae /Kahanane koyo ngene /Kapan iki rampung /Podo njaluk benere dewe
Mbok iyo podo rumongso /Jamane wis rekoso /Akeh sing do nelongso /Mikir pimpinane bongso
Yen ngene terus /Kawulane ra keurus /Yo ndang elingo /Mengko kabeh do ngrasakno
Mbok ngertio kahanane koyo ngene /Ojo nganti lali ngendikane poro Wali /Eling lan waspodo kuwi kabeh piwelinge /Poro Pepunden Nuswantoro
Ke mana-mana pun pergi, keadaan sudah kayak gini. Kapan kekacauan ini akan selesai, setiap orang mau benarnya sendiri.
Kenapa tidak pada merasa, zaman sudah penuh sengsara. Rakyat sangat mendalam berduka, memprihatinkan para pemimpinnya.
Kalau begini terus, rakyat tak terurus. Ayo mulailah sadar dan ingat, agar senang hati rakyat.
Kenapa tidak mau mengakui, keadaan serusak ini. Kenapa kita lupa piweling para Wali, ingat dan waspada, itu pesan para Pepunden Nusantara.
Di aliran darah semua Koes seolah terdapat butir fadhilah Mas Sahid, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Lokajaya alias Kanjeng Sunan Kalijaga, yang di dalam pengetahuan hati saya multi aktivitas beliau dilakukan sampai sesudah usia 100 tahun, kemudian dipanggil Allah pada usia 126 tahun. Wallahu a’lamu bishshawab.
Yogya, 14 Januari 2018
Budayawan, penyair, esais & pekerja Sosial
Leave a Reply