Blog

DIGEMBLÈNG, JATUH, BANGUN LAGI (Tohnyowo putra-putra Koeswoyo)

Sebelum masuk Skenario Dua kenapa Koes Bersaudara dipenjara, kita tengok dulu keluar jendela. Sesudah menikahi model Bianca Pèrez-Mora Macias pada 12 Mei 1971, Mick Jagger ajak istrinya itu berbulan madu di Bali. Di hotel, di café, di mana-mana, terdengar lagu Yon Koeswoyo “Hidup Yang Sepi”. Beberapa lama kemudian lahirlah lagu Mick Jagger “Party Doll”, yang sangat mirip dengan karya Tonny Koeswoyo itu.

 

Mungkin sekadar terinspirasi, tapi secara teknis memang wilayah nada dan framing lagunya terletak di koordinat yang sama dengan “Hidup Yang Sepi”. Kita sebagai bangsa yang rendah hati dan memilih akting tidak percaya diri, lebih senang menyimpulkan “Koes Plus meniru The Rolling Stones”. Tapi rasa tawadldlu` ini tidak didukung oleh fakta waktu terciptanya dua lagu itu. Satu-satunya hujjah (argumentasi) yang bisa melegitimasi “being humble” kita itu adalah suatu teori bahwa Koes Plus memiliki daya linuwih futurologis. Tonny bisa mendengar lagu Mick Jagger yang dua tahun kemudian baru diciptakan, lantas ia menirunya, sehingga bukan The Rolling Stones yang mengepigoni Koes Plus.

Mungkin ada perbedaan sikap dan keputusan antara Tonny dengan Nomo, sehingga Nomo keluar dan bikin No-Koes, sementara Koes menjadi Plus dengan Murry, wong agung dari Surabaya ini. Tetapi mereka semua sama-sama kesepian karena tidak bisa menjelaskan kepada publik apa yang mereka alami. Juga tidak ada siapapun yang menyapa dan bertanya kepada mereka. Pun para Sejarawan.

“Hidupku selalu sepi. Menjerit dalam hatiku. Kuhibur selalu diriku. Bernyayi sedih dan pilu…”. Tapi mana mungkin manusia Indonesia berputus asa, sesepi apapun, sesedih apapun, sehancur apapun: “Matahari kan bersinar terang. Mendung kan tertiup angin. Burung-burung kan bernyanyi, sayang. Menghibur hati yang sedih. Hujan pun akan berhenti, sayang. Alam pun kan berseri…”

Bung Karno sendiri membakar jiwa kaum muda Indonesia: “Digemblèng, jatuh, bangun lagi…. Digemblèng, jatuh, bangun lagi…”. Sampai kapan pun. Koes selalu bangkit dan berkarya sampai usia di wilayah 80 tahun: “Bila senja telah tiba. Hatiku tambah sengsara. Tapi tetap kubernyanyi. Walau malam telah sepi…”

Putra-putra Koeswoyo “nggetih”, mendarah daging, “tohnyowo”. Tak terkirakan cinta dan pengorbanan Tonny Nomo Yon Yok ini untuk tanah air dan bangsa Negara Indonesia. Tidak sekadar “jer basuki mowo beo”. Koes Bersaudara membayarkan jiwa raganya, kariernya, peluang masa depannya, sawah cangkulnya, keamanan dan kesejahteraan keluarganya—untuk Indonesia Raya.

Kita, yang rajin bersolek dengan gincu “mengabdi kepada rakyat Indonesia”, tidak sanggup menatap wajah Koes, karena malu. Tetapi mereka tidak menuding-nuding kita. Mereka sangat cinta kepada Indonesia dan selalu sayang kepada rakyatnya.

Dolanlah ke rumah Mas Yon, berkeliling dan pandanglah semua sisi-sisi rumahnya. Rumah pecinta Indonesia yang berjuang sejak awal 1960-an. Ada puluhan ribu rumah Lurah yang jauh lebih bagus dari rumah mas Yon dan kakak adiknya. Seluruh harta benda mas Yon lebih sedikit dibanding sepersepuluh hasil sekali korupsi seorang Bupati di Zaman Now.

Para penguasa politik adalah manusia yang paling tidak manusia. Para politisi adalah makhluk yang komponen-kompenan kemakhlukannya paling jauh dari kemanusiaan. Termasuk mereka di Orla maupun Orba, terlebih lagi yang mendalangi Orla menjadi Orba. Para penguasa politik “yatamatta’una waya`kuluna kama ta`kulul an’am”: mereka berfoya-foya di dunia dan lahap makan seperti binatang ternak.

Koes Bersaudara, mekar-mekar bunga sorga, ditunggangi, dimanfaatkan, difetakompli untuk menjadi bagian dari pelaksanaan kepentingan mereka. Begitulah di Skenario Satu, begitu pula di Skenario Dua.

 

Yogya, 10 Januari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *